Senin, 10 November 2014

LITERASI SECANGKIR KOPI

PROSA- LITERASI SECANGKIR KOPI



Sendiri. Di dini hari bersama secangkir kopi. Mengingatkan kembali pada sebuah klausa tentang spektrum surat bulanan yang tak akan habisnya aku tuliskan kepada lelaki kopi. Entah tak ada habisnya kata untuk menuliskan esensi sebuah rindu terhadap pengecut itu. Kini aku keliru, kamu pun sadar secara diam aku menguntitmu dalam aphelium sebuah sintesa. Karena aku merindu yang tak pernah kamu tahu.

Menyanding secangkir kopi dengan menatap layar penuh potret kenangan ambigu dulu. Ternyata cukup menghadirkan lara yang cukup nyentrik. Literasi bayangmu  di sudut jendela tak menghadirkan apapun kecuali delusi palsu yang aku ciptakan sendiri dengan begitu esoterik. Karena saat itu aku lebih memilih menyeduh kopi dibanding bercakap langsung dengan suara sendumu dalam fatamorgana yang penuh gerak-gerik.

Lelaki kopi hanya ada dulu. Ketika aksara bermakna "kita" duduk di sudut kota menikmati kopi "berdua saja" sembari mengomentari orang-orang yang berlalu lalang. Kita bercakap tanpa makna. Bercerita panjang yang tak ada kita di dalamnya. Tentang lautan, luar angkasa, pegunungan dan banyak hal tak bermakna yang bukan kita.

Namun kini aku bermaksud berbeda. Ada artifisial bermakna saat aku menuliskan manuskrip kopi yang kembali menjelma menjadi bayang-bayang hangat. Mungkin kamu ada. Ketika aku menyeduh kopi dan kamupun menirukannya di sana. Namun bukan aku yang ada. Tapi entah siapa yang sampai saat ini aku masih berucap bisa bertukar badan dengannya. Seseorang yang bersamamu menikmati kesenduan hegemoni kenikmatan sentuhan.

Secangkir kopi dan kamu tak ada bosannya aku menuliskan deretan kalimat prosa sampah, yang banyak orang salah artikan. Biarlah, aku akan diam. Dan aku yakin kamupun begitu karena kalaupun surat ini sampai padamu. Tak ada yang pernah tahu siapa pelaku usang dibalik kalimat rancuku.