Kamis, 19 Februari 2015

PLATONIK DI NEGERI ATAS AWAN

SEBUAH CERPEN BERSAMBUNG 

''PLATONIK DI NEGERI ATAS AWAN''


Photo by Wiwin Winarni
At Telaga Warna (Dieng)



   ‘’Gong ta’’ Sapaku seramah mungkin, dengan aksen yang dibuat agaknya mirip dengan penduduk lokal Negara di atas awan ini. Aku duduk pelan sambil dengan gongtai menghirup oksigen yang sepertinya enggan untuk berkolaborasi membuatku nyaman di dataran tinggi. Cukup menyesakkan.

  ‘’Yes?’’ Ucap lelaki tua dengan kisaran umur 60 tahun dengan menggunakan chuba putih. Tubuhnya yang semakin membungkuk tidak menurunkan semangatnya untuk melayani para pelanggan yang ingin menikmati secangkir po cha. 5 menit kemudian, dengan senyuman yang khas ia membawakanku secangkir Po cha. Konon, ini termasuk teh paling nikmat yang wajib dicicipi kala berkunjung ke Negara ini. Pembuatannya juga tidak instan, bahkan untuk mendapat sari yang kental dan rasa yang prima, teh ini harus di rebus selama berjam-jam.

   ‘’Thank you’’ aku mulai meneguk dengan segala keganasan, seperti singa yang sudah berpuluhan abad menjadi vegetarian dan merindukan seenggok daging segar. Pertama teguk, aku mengerutkan kening ketika satu tegukan mulai menjalar keseluruh lidah. Rasanya aneh. Po cha ini terbuat dari teh yang dicampur dengan susu dan mentega dari susu yak betina. Namun, ketika mencoba menetralisir dengan hati-hati. Lidah ini mulai menerima dan bahkan ketagihan. Terhitung hanya dalam 10 menit aku sudah menghabiskan 3 cangkir Po Cha.

   Suasana kedai mungil ini cukup menyejukan, yang sesekali dingin mulai menusuk-nusuk tanpa peringatan. Aku melihat sekeliling, beberapa orang sedang berhilir-mudik melakukan kegiatan keseharian mereka. Banyak turis asing yang sangat antusias untuk berkuliner di tempat ini. Aku tertawa kecil ketika melihat bule yang aku menebak berasal dari Australia, menampakan muka merah dengan kerutan kening yang seperti sedang meneguk sebotol champagne dicampur saus tomat. Ia sedang menikmati Guthuk. Aku yakin ia pasti bukan vegetarian, aku rasa ia tepaksa memakannya. Karena pasangannya melototinya dengan tajam seperti berseru ‘’ makan gak, makan gak, makan gak, kalo gak jangan sentuh aku!’’

   Aku melengus kecut sambil tertawa ringan. Entah, apa yang membuatku kesal sekaligus bahagia dalam waktu bersamaan. Aku kembali meneguk Po cha, yang kini ditemani dengan Tsampa. Sungguh penyajian yang nikmat. Tiada duanya.

  Setelah kembung beraroma kekenyangan yang berlebihan aku beranjak pergi, dan tak lupa mengucapkan terima kasih atas segala kenikmatan minuman yang hanya bisa aku nikmati di sini. Semenjak menginjakan kaki di Lhasa, entah ada energi macam apa yang membuatku merasa kembali bergejolak atas rindu, tangis, terisak dan bahagia yang memunculkan dirinya sejekab lalu mencabik-cabik habis tanpa ampun. Dan membuatku ingin berteriak. Aku yakin ini bukan efek samping dari proses aklimatisasi bagi orang dataran rendah yang menjajakan kaki ke dataran tinggi, yang minim oksigen. Aku cukup kuat untuk tidak terserang acute mountain syndrome. Dan dengan berbekal beberapa Diamox aku terselamatkan dan tidak mati sia-sia karena kekurangan oksigen.

  Kini aku berada di Bus yang akan membawaku ke Shannan Region. Ada arah angin yang menyuarakan dirinya untuk membawaku ke sana. Wilayah itu merupakan pusat kebudayaan di Tibet. Delusiku mulai liar untuk berimajinasi banyak hal disana. Sudah 2 tahun aku menamakan diri sebagai single fighter of backpacker. Aku merelakan semuanya, aku melepaskan segalanya demi kesungguhan untuk bersatu padu dengan semesta. Tidak ada penyesalan apapun, karena inilah akhir dari segala keinginan yang merambat sekaligus pada kebutuhan. Aku percaya pada mimpi-mimpi, karena akupun punya kendali pada arah tujuan hidupku, dan aku tidak ingin terus menerus di setir oleh takdir yang hanya membuatku jatuh dan terjerembab. Dan dalam perjalanan menjelajah ini pun, aku sedang mencarimu.

   ‘’What a magic!’’ Aku berkata dengan nada syukur atas perjalanan panjang ini, yang akhirnya membawaku ke tempat yang out of the mind. Gila, ini seperti mimpi. Aku menginjakan kaki di Shannan. ‘’ Woaaaaaaaa!’’ Aku berteriak kencang, udara aku hirup dengan keikhlasan penuh takjub. Siapapun, makhluk asing di luar sana yang menganggap diriku butiran pasir. ‘’Look at me helooooo!’’ aku berteriak mendadahkan tangan ke Angkasa. ‘’This my Fuckin’ life’’. Aku tidak berharap banyak, bahwa Alien akan mendengar. Aku hanya ingin menyalurkan atom kebahagiaan, itu saja. Dan aku kembali loncat kegirangan seperti manusia sinting kelebihan endorfin.

   Revolusi hidup berjalan mengikuti arah angin dengan bimbingan takdir. Kini segalanya nyata kembali ketika aku mulai mempercayai akan mimpi-mimpi. Aku merealisasikan paru-paru yang dengan anggun menerima segala oksigen yang berhasil digaploknya. Segar, dan aku bisa merasakan esensinya. Aku mengeluarkan coolpix mini yang selalu ku bawa di ransel travelku. Lensa mataku jeli untuk memandang permadani Alam yang begitu Agung menyuarakan keindahannya. Kamera miniku overhead shot mengarah ke orang yang sedang menggendong anaknya yang masih berusia 3 tahun, mungkin itu kegiatan rutin hariannya. Mengasuh anak sekaligus menggembala lembu yak di padang rumput luas ini. Hasil jepretan cukup memuaskan. Dan aku juga tertarik untuk menjadikan lembu yak sebagai model paling imut. Penggembala itu menatapku, dan akupun menatapnya. Lalu aku tersenyum dan menghilang dari pandangannya untuk mencari objek baru. Atau lebih tepatnya menghindar dari dugaan kriminalitas karena aku sudah membidik secara sembarang. Tapi aku yakin, warga lokal ramah tamah.

   Aku kembali berjalan, mengarungi padang rumput hijau dengan gegap langkah kaki sendirian. Angin dataran tinggi cukup membuat kulitku tercabik, meski bukan dimusim dingin. Dan ini cukup menyiksa bagi spesies tropisisme sepertiku.

   ‘’Tashide’’ ucapku lembut dengan mencangkupkan kedua tangan dan meletakannya di bagian dada sambil menjulurkan lidah. Jangan menganggap aneh dulu, ini adalah sapaan tradisonal khas orang Tibet. Dan orang yang aku sapa juga melakukan  hal yang sama. Kami berbincang tentang kondisi alam di Shannan, ia termasuk orang yang hangat.  Namanya Pangyong, usianya baru menginjak 30-an, dan lumayan tampan. Ah kita hampir seumuran. Aku sama sekali tidak berniat untuk mengajaknya berkencan, bukan karena aku tidak mau. Tapi dia sudah beristri. Dan sebagai informasi saja, aku sedang menggendong anaknya yang berusia 2 tahun 8 bulan dan istrinya sedang duduk bersamaku. Mereka merupakan keluarga kecil yang bahagia, tinggal di pondok mungil yang hanya berukuran 4x5 meter. Keindahan alam menyempurnakan segala esensial keharmonisan mereka. Ah sepertinya aku iri, karena sudah menginjak kepala 3 aku masih belum juga berpasangan. Ketika lelahku surut, aku berpamitan kepada mereka. Dan kembali melanjutkan jajakan metafora nyata alam yang luar biasa. Pegunungan indah menjulang sejauh mata memandang. Benar-benar surga di atas awan. Wuhuuuu!

     Aku berdiam dalam perjalanan, diamku berkata. Ada yang aku rindukan, entah itu apa. Angin yang menabrak mukaku dengan sengit sepertinya memberikan integritas sebuah informasi bahwa perjalananku ini hanya sebagai ‘’Pursuit of happiness’’ semata. Kebahagiaan yang sepertinya hanya untukku, untuk aku dan aku. Semuanya seolah berputar dalam lepton kenangan  ketika aku dengannya berbincang dalam kedai kopi sederhana tentang ‘’Cagito Ergo Sum’’. Aku mengutuk diri sendiri, aku berhenti melangkahkan kaki. Lututku melemas, dan akhirnya aku terduduk di tengah padang rumput luas. ‘’Aku ingin kembali’’ ucapku gusar, awan mulai menghitam yang sudah berkompromi dengan semesta, seolah kesedihan bermanifestasi menjadi rintikan embun yang jatuh kedaratan menjadi butiran hujan.

   Hujan embun mulai asik bercanda dengan kesedihan, aku berlari mencari tempat teduh yang seenggaknya mau untuk aku singgahi. Dan sebuah bangunan antik yang menjulang dengan percaya diri, menyelamatkanku hari ini. Seenggaknya matiku karena kedinginan sudah tertunda.

  ‘’Damn it! Manusia sinting macam apa yang mau-maunya membangun galeri di tengah padang rumput’’ Aku tersenyum kecut, terkejut dengan singgahan yang menyelamatkanku dari kematian karena dingin. Cukup unik, galeri ini hanya ada satu pintu dengan 2 buah jendela yang menjualang dari kanan dan kiri. Arsitekturnya yang bergaya western cukup mengagetkan. Siapa yang membangun ini? Penduduk lokal yang kerasukan gaya film hollywood modern atau orang asing sinting yang frustasi karena tidak ada lahan lain untuk menyalurkan apresiasinya? Entahlah aku tidak mau ambil pusing. Dingin ini sudah cukup membuatku ingin mati. Aku memberanikan diri untuk masuk ke galeri. Pintu aku buka. Tapi sebelum menumbuhkan kepercaya diri untuk masuk kedalam dan menghilangkan pikiran buruk tentang kriminalitas seksual. Mataku cukup liar untuk membidik pada satu lukisan abstrak bergaya impresionisme, ada garis-garis kuat yang menampilkan warna-warna cerah. Kesan yang bagus untuk menarik pengunjung. Tunggu! Jangan-jangan ini tempat persembunyian Eugene Delacroix? Ah persetan! Ini sudah abad keberapa! Aku geram dengan persepsi konyolku. Lukisan itu menggantung dengan indah di dinding pintu. Dan sepertinya aku jatuh cinta. Dan kalau boleh di bawa pulang, aku tidak akan menolak.

   Kakiku sepertinya punya magnet sendiri. Tempat ini seperti pusat dari segalanya. Perjalanan ini seperti orbit yang akhirnya membawaku ke tempat aneh ini. Rasa itu semakin menguat ketika aku berada di dalam. Ada yang aku rindukan dan akhirnya berhasil aku temukan. Dan semakin aku mencoba untuk menyadari perasaan itu, justru menghilang dan aku semakin tidak ingin mengerti. Kakiku tersentak pada satu sisi, aku berdiri mematung di tengah galeri itu, yang semua dindingnya terdapat lukisan-lukisan yang aku rindukan. Dan ada yang paling aku cinta, lukisan kesunyian, berjejar pas di depan pandangan yang bersebelahan dengan lukisan grand canal di Venice, tentang dua orang yang berdansa menaiki gondola. Hanya satu orang yang berani mengadopsi imajinasi liar untuk membuat ini semua, aku yakin. Ah.. brengsek! Aku menangis, mematung dan masih tak paham dengan dialog ini semua. Tuhan! Takdir apa yang sedang Engkau permainkan.

    Yang aku rindukan selama 8 tahun, kini berdiri tegak di depan mata. Aku melepas kaca mata, yang justru membuat nyata kalau ini hanya ilusi belaka. Remang-remang aku melihat wajah murung itu, wajah yang selalu aku impikan, yang pernah menghilang.

   Ia mendekat, ada sesak di sekitar rongga. Aku mundur satu langkah, dan ia masih berjuang untuk menggapaiku. Dan tanpa hitungan waktu yang lama ia sudah berdiri di depanku dengan jarak yang dekat.. sangat dekat. Dan tanpa bertindak responsif, tubuhku merasakan kehangatan yang berasal dari tubuhnya, aku bisa mencium bau cat air dari bajunya. Bau yang selalu aku rindukan. Ia memelukku erat, dan akupun begitu. Dunia seolah menolak untuk berotasi. Kami hanya larut dalam kekosongan dalam dimensi ruang dan waktu, yang akhirnya melegakkan rinduku yang terpendam selama bertahun-tahun. ‘’Kini kamu ada, dan aku bisa melihatnya’’ batinku.

    ‘’Menghilang 8 tahun, dan sekarang kamu memelukku seperti orang sedang kelelahan yang nyari guling buat tidur pulas’’ Cercaku geram. Aku belum sanggup melihat wajah murungnya dengan khas senyuman satu baris di bibirnya.

    ‘’Melihatmu hari ini, semakin menguatkan kalau evolusi Darwin itu salah besar’’

     ‘’A..apa?’’

     ‘’Kamu sama sekali enggak berubah, kecuali pake kaca mata’’

     ‘’Holy shit! Kita nggak berpisah selama itu’’

     Kejutan besar, dan jebakan Batman kalau bertemu lagi dengan seseorang yang amat di rindukan, si seniman introvert lalu berharap ada kata rindu dan manja akan terucap, itu bullshit!. Menyaksikan kan? Bertahun-tahun tanpa pernah bertatap dan tanpa kabar. Dan ketika bertemu justru membahas tentang kebenaran Darwin. Oh my God! Kiss my ass, dude!

    Tidak ada yang berubah darinya. Dia tetap Ergam jora yang sangat khas dengan muka murung dan senyuman sebarisnya. Yang berubah hanya penampilan, ia sudah berani membiarkan jenggot dan kumisnya tumbuh. Tubuhnya bertambah putih dan segar, sangat terawat. Aku yakin, ini efek dataran tinggi, aku penasaran tentang ceritnya bisa sampai di Tibet dan bagaimana ia beradaptasi dengan wilayah yang minim oksigen.

   ‘’Sekarang, aku bisa melihatmu seperti dirimu yang sesungguhnya’’

   ‘’Me too, kamu berhasil. You do it well!’’ aku menatapnya sendu, ada aura lain di matanya, yang entah itu berkode apa.

   ‘’Sudah berapa Negara yang sudah kamu singgahi?’’

   ‘’Ah, masih sekitar Asia. Tujuan akhir di sini akan ke Induk Yarlung, Gunung Kailash’’

   ‘’Nice trip! Itu dipercaya sebagai pusat semesta’’

   ‘’Iya, seperti semesta yang sudah bersatu pada untuk berkonspirasi membantuku menemukanmu’’

   ‘’Haha, aku bukan maniak novel, tapi aku tahu itu kutipan dari The Alchemist’’

    ‘’Aku cuma menguji kecerdasanmu’’

     Ergam mengajakku berkeliling galerinya. Ia dengan percaya diri menunjukan hasil karya lukisnya dan sudah berhasil membuktikan impian-impiannya. Kami bercerita banyak, darinya aku tahu galeri ini hanya tempat yang di jadikan sebagai ruang rehat ketika ia bosen dengan rutin kesehariannya sebagai desainer grafis. Dan aku baru tahu kalau karya lukis maupun grafisnya di deviantart sangat terkenal, ya dia memang tipe manusia di belakang layar. Aku mengerti ia sepenuhnya. Kami 4 tahun menempuh bangku kuliah dalam kampus yang sama, dan selama itu juga mungkin hanya aku yang dijadikan teman kencannya. Wanita mana yang mau berkencan dengan manusia bermuka murung? Ya, kecuali aku.

     Kami duduk di ruangan yang penuh dengan lukisan-lukisan asbtrak. Jendela tepat di sebelah kami yang menghadirkan pemandangan indah dengan latar pegunungan dan awan yang bersibak dibanyak sisi. Dingin yang kutakuti sudah melenyap bagai abu, seperti rindu yang akhirnya berujung temu.

    Dan seperti biasa, ketika kami berdua bertatap dalam dialog, ada keheningan yang ikut serta. Bisu di antara kami seperti akan menghadirkan luka, entah itu apa…

    ‘’Aku sudah bahagia’’

    ‘’I see’’

    ‘’Aku sudah menikah, dan aku juga punya anak’’

    Pernyataan itu seperti gamparan yang menggaplokku berkali-kali dan berujung lara. Seperti besi yang dipanaskan lalu aku genggam, ada luka menganga dan aku basuh dengan cuka. Aku hanya diam tak bergeming, entah respon seperti apa yang bisa meyakinkan Ergam kalau aku juga ikut bahagia atas kebahagiaannya. Aku berpura biasa-biasa saja, aku sekuat tenaga untuk menggerakan bibir dan tersenyum ikhlas kepadanya.

‘’Ah ya, baguslah. Wanita malang mana yang mau menikahimu, Ergam?’’

‘’Penduduk lokal, dia sepertimu’’

‘’No! aku enggak seperti siapa-siapa!’’ Nadaku meninggi, ‘’Ah iya, sepertinya aku terlalu lama di sini. Aku harus melanjutkan tripku’’

‘’Are you okey?’’

‘’More than okay’’ (sebelum kamu mengatakan sudah menikah)

    Aku meninggalkan galeri tanpa melihat wajah Ergam lagi. Aku berlari, rasanya kaki sudah tidak menginjak tanah. Rasa lelah sudah tidak berarti apa-apa lagi ketika atom nuklir meledakan dirinya dan berhasil menghancurkanku dari dalam, tanpa ampun dan tersisa. Aku tidak lagi mengerang kesakitan, rasanya lelah… sangat lelah. Rindu yang tertuntaskan karena berujung pertemuan. Kini menjadi lara yang begitu menyesakan ketika tahu rindu itu menancap bukan pada tempatnya.

     12 tahun aku hanya melihatmu, Ergam. Tapi di sisimu, kamu melihat orang lain. Aku berlari, terus dan terus sampai akhirnya kakiku berhenti pada danau yang luas. Itulah muara perasaanku sesungguhnya, akhir perjalanan yang menyesakkan. Aku berteriak kencang. Hingga beberapa domba yang sedang menikmati keindahan air biru berkelebatan lari karena ketakutan, ada monster bersuara massif sedang mencabik-cabik gendang telinganya. Aku tidak ingin menjadi munafik dengan meluapkan segala lara pada semesta, aku seharusnya tidak bercerita pada danau maupun pegunungan. Karena mereka… tidak punya hati.

    Ingatanku, berkelebat pada kenangan erotis 8 tahun silam yang menenggelamkanku pada kerinduan berlipat ganda terhadap makhluk bernama, Ergam. Ketika setiap kali tidak bertatap. Pesta wisuda hanya dihabiskan oleh aku dan dia, di negeri atas awan. Segalanya indah. Ditambah ia berhasil menyandang Cum Claude yang secara de facto dia tidak pernah menikmati sesi perkuliahan dan seperti akan mati bosan mendengar dosen menerangkan segala hal yang tidak menarik baginya.

     Dieng, sebagai tempat perpisahan. Kami duduk berdua dalam ruang yang hanya ada aku dan dia, remang-remang lilin berkilau malu karena menjadi pihak ketiga. Dan dalam satu waktu, aku pertama kalinya merasakan ada sengatan listrik yang menyambarku dengan gentakan supermasif. Aliran listrik itu menyergapku langsung dan melumpuhkan nalar. Bayangkan, ketika kamu tidak ada sesi untuk mengucapkan kalimat selamat tinggal atau kata-kata manja, kamu melayang di atas awan. Lupakan alur manis jalannya cerita dalam film-film romantik, listrik itu berhasil membunuhmu, begitu dahsyat, dan pada akhirnya kamu hanya mampu terkulai lemas. Kamu sekarat dan akhirnya mati tergoda.

     Aku kembali ke dunia sadar, mencoba membunuh kenangan itu, yang membuatku tidak waras. Aku harus musnahkan semua. Aku harus bahagia, dengan atau tidak bersama makhluk sinting itu. Aku pantas untuk bahagia!

     Aku berteriak, kencang… sangat kencang sehingga suara mampu mendistorsi ruang dan waktu. Segalanya kembali nyata. Lara ini menyadarkan. Semua kejadian berjalan tidak sesuai dengan keinginan sang pelaku. Semua jalan hidup harus rela membiarkan takdir ikut serta dalam skenario-Nya dan kamu tidak bisa sesuka hati menyetir takdirmu sendiri.

    Aku mendengar langkah kaki, semakin mendekat. Sampai aku bisa merasakan ada kehadiran seseorang. Aku berusaha keras untuk tidak memperdulikan. Tapi langkah itu semakin menghadirkan rasa nyeri. Aku berbalik badan, berusaha menampilkan wajah seperti orang yang baru mendapat undian jalan-jalan gratis ke Ethiopia.

      Aku melihatnya, Ergam. Mematungkan diri, entah dengan ekspresi macam apa.

     ‘’Kamu enggak baik-baik saja’’ Ucapnya.


 ‘’SELESAI’’