SEBUAH CERPEN BERSAMBUNG
''PLATONIK DI NEGERI ATAS AWAN''
‘’Gong ta’’ Sapaku seramah mungkin,
dengan aksen yang dibuat agaknya mirip dengan penduduk lokal Negara di atas
awan ini. Aku duduk pelan sambil dengan gongtai menghirup oksigen yang
sepertinya enggan untuk berkolaborasi membuatku nyaman di dataran tinggi. Cukup
menyesakkan.
‘’Yes?’’ Ucap lelaki tua dengan kisaran umur 60 tahun dengan menggunakan chuba putih. Tubuhnya yang semakin membungkuk tidak menurunkan semangatnya untuk melayani para pelanggan yang ingin menikmati secangkir po cha. 5 menit kemudian, dengan senyuman yang khas ia membawakanku secangkir Po cha. Konon, ini termasuk teh paling nikmat yang wajib dicicipi kala berkunjung ke Negara ini. Pembuatannya juga tidak instan, bahkan untuk mendapat sari yang kental dan rasa yang prima, teh ini harus di rebus selama berjam-jam.
‘’Thank you’’ aku mulai meneguk dengan segala keganasan, seperti singa yang sudah berpuluhan abad menjadi vegetarian dan merindukan seenggok daging segar. Pertama teguk, aku mengerutkan kening ketika satu tegukan mulai menjalar keseluruh lidah. Rasanya aneh. Po cha ini terbuat dari teh yang dicampur dengan susu dan mentega dari susu yak betina. Namun, ketika mencoba menetralisir dengan hati-hati. Lidah ini mulai menerima dan bahkan ketagihan. Terhitung hanya dalam 10 menit aku sudah menghabiskan 3 cangkir Po Cha.
Suasana kedai mungil ini cukup menyejukan, yang sesekali dingin mulai menusuk-nusuk tanpa peringatan. Aku melihat sekeliling, beberapa orang sedang berhilir-mudik melakukan kegiatan keseharian mereka. Banyak turis asing yang sangat antusias untuk berkuliner di tempat ini. Aku tertawa kecil ketika melihat bule yang aku menebak berasal dari Australia, menampakan muka merah dengan kerutan kening yang seperti sedang meneguk sebotol champagne dicampur saus tomat. Ia sedang menikmati Guthuk. Aku yakin ia pasti bukan vegetarian, aku rasa ia tepaksa memakannya. Karena pasangannya melototinya dengan tajam seperti berseru ‘’ makan gak, makan gak, makan gak, kalo gak jangan sentuh aku!’’
Aku melengus kecut sambil tertawa
ringan. Entah, apa yang membuatku kesal sekaligus bahagia dalam waktu
bersamaan. Aku kembali meneguk Po
cha, yang kini ditemani dengan Tsampa. Sungguh penyajian yang nikmat. Tiada
duanya.
Setelah kembung beraroma kekenyangan yang
berlebihan aku beranjak pergi, dan tak lupa mengucapkan terima kasih atas
segala kenikmatan minuman yang hanya bisa aku nikmati di sini. Semenjak
menginjakan kaki di Lhasa, entah ada energi macam apa yang membuatku merasa
kembali bergejolak atas rindu, tangis, terisak dan bahagia yang memunculkan
dirinya sejekab lalu mencabik-cabik habis tanpa ampun. Dan membuatku ingin
berteriak. Aku yakin ini bukan efek samping dari proses aklimatisasi bagi orang
dataran rendah yang menjajakan kaki ke dataran tinggi, yang minim oksigen. Aku
cukup kuat untuk tidak terserang acute
mountain syndrome. Dan dengan berbekal beberapa Diamox aku terselamatkan
dan tidak mati sia-sia karena kekurangan oksigen.
Kini aku berada di Bus yang akan membawaku
ke Shannan Region. Ada arah angin yang menyuarakan dirinya untuk membawaku ke
sana. Wilayah itu merupakan pusat kebudayaan di Tibet. Delusiku mulai liar
untuk berimajinasi banyak hal disana. Sudah 2 tahun aku menamakan diri sebagai
single fighter of backpacker. Aku merelakan semuanya, aku melepaskan segalanya
demi kesungguhan untuk bersatu padu dengan semesta. Tidak ada penyesalan
apapun, karena inilah akhir dari segala keinginan yang merambat sekaligus pada
kebutuhan. Aku percaya pada mimpi-mimpi, karena akupun punya kendali pada arah
tujuan hidupku, dan aku tidak ingin terus menerus di setir oleh takdir yang
hanya membuatku jatuh dan terjerembab. Dan dalam perjalanan menjelajah ini pun,
aku sedang mencarimu.
‘’What a magic!’’ Aku berkata dengan
nada syukur atas perjalanan panjang ini, yang akhirnya membawaku ke tempat yang
out of the mind. Gila, ini seperti mimpi. Aku menginjakan kaki di Shannan. ‘’
Woaaaaaaaa!’’ Aku berteriak kencang, udara aku hirup dengan keikhlasan penuh
takjub. Siapapun, makhluk asing di luar sana yang menganggap diriku butiran
pasir. ‘’Look at me helooooo!’’ aku berteriak mendadahkan tangan ke Angkasa.
‘’This my Fuckin’ life’’. Aku tidak berharap banyak, bahwa Alien akan
mendengar. Aku hanya ingin menyalurkan atom kebahagiaan, itu saja. Dan aku
kembali loncat kegirangan seperti manusia sinting kelebihan endorfin.
Revolusi hidup berjalan mengikuti
arah angin dengan bimbingan takdir. Kini segalanya nyata kembali ketika aku
mulai mempercayai akan mimpi-mimpi. Aku merealisasikan paru-paru yang dengan
anggun menerima segala oksigen yang berhasil digaploknya. Segar, dan aku bisa
merasakan esensinya. Aku mengeluarkan coolpix mini yang selalu ku bawa di
ransel travelku. Lensa mataku jeli untuk memandang permadani Alam yang begitu
Agung menyuarakan keindahannya. Kamera miniku overhead shot mengarah ke orang
yang sedang menggendong anaknya yang masih berusia 3 tahun, mungkin itu
kegiatan rutin hariannya. Mengasuh anak sekaligus menggembala lembu yak di
padang rumput luas ini. Hasil jepretan cukup memuaskan. Dan aku juga tertarik untuk
menjadikan lembu yak sebagai model paling imut. Penggembala itu menatapku, dan
akupun menatapnya. Lalu aku tersenyum dan menghilang dari pandangannya untuk
mencari objek baru. Atau lebih tepatnya menghindar dari dugaan kriminalitas
karena aku sudah membidik secara sembarang. Tapi aku yakin, warga lokal ramah
tamah.
Aku kembali berjalan, mengarungi
padang rumput hijau dengan gegap langkah kaki sendirian. Angin dataran tinggi
cukup membuat kulitku tercabik, meski bukan dimusim dingin. Dan ini cukup menyiksa
bagi spesies tropisisme sepertiku.
‘’Tashide’’ ucapku lembut dengan
mencangkupkan kedua tangan dan meletakannya di bagian dada sambil menjulurkan
lidah. Jangan menganggap aneh dulu, ini adalah sapaan tradisonal khas orang
Tibet. Dan orang yang aku sapa juga melakukan hal yang sama. Kami berbincang tentang
kondisi alam di Shannan, ia termasuk orang yang hangat. Namanya Pangyong, usianya baru
menginjak 30-an, dan lumayan tampan. Ah kita hampir seumuran. Aku sama sekali
tidak berniat untuk mengajaknya berkencan, bukan karena aku tidak mau. Tapi dia
sudah beristri. Dan sebagai informasi saja, aku sedang menggendong anaknya yang
berusia 2 tahun 8 bulan dan istrinya sedang duduk bersamaku. Mereka merupakan
keluarga kecil yang bahagia, tinggal di pondok mungil yang hanya berukuran 4x5
meter. Keindahan alam menyempurnakan segala esensial keharmonisan mereka. Ah
sepertinya aku iri, karena sudah menginjak kepala 3 aku masih belum juga
berpasangan. Ketika lelahku surut, aku berpamitan kepada mereka. Dan kembali
melanjutkan jajakan metafora nyata alam yang luar biasa. Pegunungan indah
menjulang sejauh mata memandang. Benar-benar surga di atas awan. Wuhuuuu!
Aku berdiam dalam perjalanan,
diamku berkata. Ada yang aku rindukan, entah itu apa. Angin yang menabrak
mukaku dengan sengit sepertinya memberikan integritas sebuah informasi bahwa
perjalananku ini hanya sebagai ‘’Pursuit of happiness’’ semata. Kebahagiaan
yang sepertinya hanya untukku, untuk aku dan aku. Semuanya seolah berputar
dalam lepton kenangan ketika
aku dengannya berbincang dalam kedai kopi sederhana tentang ‘’Cagito Ergo
Sum’’. Aku mengutuk diri sendiri, aku berhenti melangkahkan kaki. Lututku
melemas, dan akhirnya aku terduduk di tengah padang rumput luas. ‘’Aku ingin
kembali’’ ucapku gusar, awan mulai menghitam yang sudah berkompromi dengan
semesta, seolah kesedihan bermanifestasi menjadi rintikan embun yang jatuh
kedaratan menjadi butiran hujan.
Hujan embun mulai asik bercanda
dengan kesedihan, aku berlari mencari tempat teduh yang seenggaknya mau untuk
aku singgahi. Dan sebuah bangunan antik yang menjulang dengan percaya diri,
menyelamatkanku hari ini. Seenggaknya matiku karena kedinginan sudah tertunda.
‘’Damn it! Manusia sinting macam apa yang
mau-maunya membangun galeri di tengah padang rumput’’ Aku tersenyum kecut, terkejut
dengan singgahan yang menyelamatkanku dari kematian karena dingin. Cukup unik,
galeri ini hanya ada satu pintu dengan 2 buah jendela yang menjualang dari
kanan dan kiri. Arsitekturnya yang bergaya western cukup mengagetkan. Siapa
yang membangun ini? Penduduk lokal yang kerasukan gaya film hollywood modern
atau orang asing sinting yang frustasi karena tidak ada lahan lain untuk
menyalurkan apresiasinya? Entahlah aku tidak mau ambil pusing. Dingin ini sudah cukup membuatku ingin mati. Aku
memberanikan diri untuk masuk ke galeri. Pintu aku buka. Tapi sebelum
menumbuhkan kepercaya diri untuk masuk kedalam dan menghilangkan pikiran buruk
tentang kriminalitas seksual. Mataku cukup liar untuk membidik pada satu
lukisan abstrak bergaya impresionisme, ada garis-garis kuat yang menampilkan
warna-warna cerah. Kesan yang bagus untuk menarik pengunjung. Tunggu!
Jangan-jangan ini tempat persembunyian Eugene Delacroix? Ah persetan! Ini sudah
abad keberapa! Aku geram dengan persepsi konyolku. Lukisan itu menggantung
dengan indah di dinding pintu. Dan sepertinya aku jatuh cinta. Dan kalau boleh
di bawa pulang, aku tidak akan menolak.
Kakiku sepertinya punya magnet
sendiri. Tempat ini seperti pusat dari segalanya. Perjalanan ini seperti orbit
yang akhirnya membawaku ke tempat aneh ini. Rasa itu semakin menguat ketika aku
berada di dalam. Ada yang aku rindukan dan akhirnya berhasil aku temukan. Dan
semakin aku mencoba untuk menyadari perasaan itu, justru menghilang dan aku
semakin tidak ingin mengerti. Kakiku tersentak pada satu sisi, aku berdiri
mematung di tengah galeri itu, yang semua dindingnya terdapat lukisan-lukisan
yang aku rindukan. Dan ada yang paling aku cinta, lukisan kesunyian, berjejar pas
di depan pandangan yang bersebelahan dengan lukisan grand canal di Venice,
tentang dua orang yang berdansa menaiki gondola. Hanya satu orang yang berani
mengadopsi imajinasi liar untuk membuat ini semua, aku yakin. Ah.. brengsek!
Aku menangis, mematung dan masih tak paham dengan dialog ini semua. Tuhan!
Takdir apa yang sedang Engkau permainkan.
Yang aku rindukan selama 8 tahun,
kini berdiri tegak di depan mata. Aku melepas kaca mata, yang justru membuat
nyata kalau ini hanya ilusi belaka. Remang-remang aku melihat wajah murung itu,
wajah yang selalu aku impikan, yang pernah menghilang.
Ia mendekat, ada sesak di sekitar
rongga. Aku mundur satu langkah, dan ia masih berjuang untuk menggapaiku. Dan
tanpa hitungan waktu yang lama ia sudah berdiri di depanku dengan jarak yang
dekat.. sangat dekat. Dan tanpa bertindak responsif, tubuhku merasakan
kehangatan yang berasal dari tubuhnya, aku bisa mencium bau cat air dari
bajunya. Bau yang selalu aku rindukan. Ia memelukku erat, dan akupun begitu.
Dunia seolah menolak untuk berotasi. Kami hanya larut dalam kekosongan dalam
dimensi ruang dan waktu, yang akhirnya melegakkan rinduku yang terpendam selama
bertahun-tahun. ‘’Kini kamu ada, dan aku bisa melihatnya’’ batinku.
‘’Menghilang 8 tahun, dan sekarang
kamu memelukku seperti orang sedang kelelahan yang nyari guling buat tidur
pulas’’ Cercaku geram. Aku belum sanggup melihat wajah murungnya dengan khas
senyuman satu baris di bibirnya.
‘’Melihatmu hari ini, semakin
menguatkan kalau evolusi Darwin itu salah besar’’
‘’A..apa?’’
‘’Kamu sama sekali enggak
berubah, kecuali pake kaca mata’’
‘’Holy shit! Kita nggak
berpisah selama itu’’
Kejutan besar, dan jebakan
Batman kalau bertemu lagi dengan seseorang yang amat di rindukan, si seniman
introvert lalu berharap ada kata rindu dan manja akan terucap, itu bullshit!.
Menyaksikan kan? Bertahun-tahun tanpa pernah bertatap dan tanpa kabar. Dan
ketika bertemu justru membahas tentang kebenaran Darwin. Oh my God! Kiss my
ass, dude!
Tidak ada yang berubah darinya. Dia
tetap Ergam jora yang sangat khas dengan muka murung dan senyuman sebarisnya.
Yang berubah hanya penampilan, ia sudah berani membiarkan jenggot dan kumisnya
tumbuh. Tubuhnya bertambah putih dan segar, sangat terawat. Aku yakin, ini efek
dataran tinggi, aku penasaran tentang ceritnya bisa sampai di Tibet dan
bagaimana ia beradaptasi dengan wilayah yang minim oksigen.
‘’Sekarang, aku bisa melihatmu
seperti dirimu yang sesungguhnya’’
‘’Me too, kamu berhasil. You do it
well!’’ aku menatapnya sendu, ada aura lain di matanya, yang entah itu berkode
apa.
‘’Sudah berapa Negara yang sudah kamu
singgahi?’’
‘’Ah, masih sekitar Asia. Tujuan
akhir di sini akan ke Induk Yarlung, Gunung Kailash’’
‘’Nice trip! Itu dipercaya sebagai
pusat semesta’’
‘’Iya, seperti semesta yang sudah
bersatu pada untuk berkonspirasi membantuku menemukanmu’’
‘’Haha, aku bukan maniak novel, tapi
aku tahu itu kutipan dari The Alchemist’’
‘’Aku cuma menguji kecerdasanmu’’
Ergam mengajakku berkeliling
galerinya. Ia dengan percaya diri menunjukan hasil karya lukisnya dan sudah
berhasil membuktikan impian-impiannya. Kami bercerita banyak, darinya aku tahu
galeri ini hanya tempat yang di jadikan sebagai ruang rehat ketika ia bosen
dengan rutin kesehariannya sebagai desainer grafis. Dan aku baru tahu kalau
karya lukis maupun grafisnya di deviantart sangat terkenal, ya dia memang tipe
manusia di belakang layar. Aku mengerti ia sepenuhnya. Kami 4 tahun menempuh
bangku kuliah dalam kampus yang sama, dan selama itu juga mungkin hanya aku
yang dijadikan teman kencannya. Wanita mana yang mau berkencan dengan manusia
bermuka murung? Ya, kecuali aku.
Kami duduk di ruangan yang
penuh dengan lukisan-lukisan asbtrak. Jendela tepat di sebelah kami yang
menghadirkan pemandangan indah dengan latar pegunungan dan awan yang bersibak
dibanyak sisi. Dingin yang kutakuti sudah melenyap bagai abu, seperti rindu
yang akhirnya berujung temu.
Dan seperti biasa, ketika kami
berdua bertatap dalam dialog, ada keheningan yang ikut serta. Bisu di antara
kami seperti akan menghadirkan luka, entah itu apa…
‘’Aku sudah bahagia’’
‘’I see’’
‘’Aku sudah menikah, dan aku juga
punya anak’’
Pernyataan itu seperti gamparan yang
menggaplokku berkali-kali dan berujung lara. Seperti besi yang dipanaskan lalu
aku genggam, ada luka menganga dan aku basuh dengan cuka. Aku hanya diam tak
bergeming, entah respon seperti apa yang bisa meyakinkan Ergam kalau aku juga
ikut bahagia atas kebahagiaannya. Aku berpura biasa-biasa saja, aku sekuat
tenaga untuk menggerakan bibir dan tersenyum ikhlas kepadanya.
‘’Ah ya, baguslah. Wanita malang mana yang mau
menikahimu, Ergam?’’
‘’Penduduk lokal, dia sepertimu’’
‘’No! aku enggak seperti siapa-siapa!’’ Nadaku
meninggi, ‘’Ah iya, sepertinya aku terlalu lama di sini. Aku harus melanjutkan
tripku’’
‘’Are you okey?’’
‘’More than okay’’ (sebelum kamu mengatakan sudah
menikah)
Aku meninggalkan galeri tanpa
melihat wajah Ergam lagi. Aku berlari, rasanya kaki sudah tidak menginjak
tanah. Rasa lelah sudah tidak berarti apa-apa lagi ketika atom nuklir meledakan
dirinya dan berhasil menghancurkanku dari dalam, tanpa ampun dan tersisa. Aku
tidak lagi mengerang kesakitan, rasanya lelah… sangat lelah. Rindu yang
tertuntaskan karena berujung pertemuan. Kini menjadi lara yang begitu
menyesakan ketika tahu rindu itu menancap bukan pada tempatnya.
12 tahun aku hanya melihatmu,
Ergam. Tapi di sisimu, kamu melihat orang lain. Aku berlari, terus dan terus
sampai akhirnya kakiku berhenti pada danau yang luas. Itulah muara perasaanku
sesungguhnya, akhir perjalanan yang menyesakkan. Aku berteriak kencang. Hingga
beberapa domba yang sedang menikmati keindahan air biru berkelebatan lari
karena ketakutan, ada monster bersuara massif sedang mencabik-cabik gendang
telinganya. Aku tidak ingin menjadi munafik dengan meluapkan segala lara pada
semesta, aku seharusnya tidak bercerita pada danau maupun pegunungan. Karena
mereka… tidak punya hati.
Ingatanku, berkelebat pada kenangan
erotis 8 tahun silam yang menenggelamkanku pada kerinduan berlipat ganda
terhadap makhluk bernama, Ergam. Ketika setiap kali tidak bertatap. Pesta
wisuda hanya dihabiskan oleh aku dan dia, di negeri atas awan. Segalanya indah.
Ditambah ia berhasil menyandang Cum Claude yang secara de facto dia tidak
pernah menikmati sesi perkuliahan dan seperti akan mati bosan mendengar dosen
menerangkan segala hal yang tidak menarik baginya.
Dieng, sebagai tempat
perpisahan. Kami duduk berdua dalam ruang yang hanya ada aku dan dia,
remang-remang lilin berkilau malu karena menjadi pihak ketiga. Dan dalam satu
waktu, aku pertama kalinya merasakan ada sengatan listrik yang menyambarku
dengan gentakan supermasif. Aliran listrik itu menyergapku langsung dan
melumpuhkan nalar. Bayangkan, ketika kamu tidak ada sesi untuk mengucapkan
kalimat selamat tinggal atau kata-kata manja, kamu melayang di atas awan. Lupakan
alur manis jalannya cerita dalam film-film romantik, listrik itu berhasil
membunuhmu, begitu dahsyat, dan pada akhirnya kamu hanya mampu terkulai lemas.
Kamu sekarat dan akhirnya mati tergoda.
Aku kembali ke dunia sadar,
mencoba membunuh kenangan itu, yang membuatku tidak waras. Aku harus musnahkan
semua. Aku harus bahagia, dengan atau tidak bersama makhluk sinting itu. Aku
pantas untuk bahagia!
Aku berteriak, kencang… sangat
kencang sehingga suara mampu mendistorsi ruang dan waktu. Segalanya kembali
nyata. Lara ini menyadarkan. Semua kejadian berjalan tidak sesuai dengan
keinginan sang pelaku. Semua jalan hidup harus rela membiarkan takdir ikut
serta dalam skenario-Nya dan kamu tidak bisa sesuka hati menyetir takdirmu
sendiri.
Aku mendengar langkah kaki, semakin
mendekat. Sampai aku bisa merasakan ada kehadiran seseorang. Aku berusaha keras
untuk tidak memperdulikan. Tapi langkah itu semakin menghadirkan rasa nyeri.
Aku berbalik badan, berusaha menampilkan wajah seperti orang yang baru mendapat
undian jalan-jalan gratis ke Ethiopia.
Aku melihatnya, Ergam.
Mematungkan diri, entah dengan ekspresi macam apa.
‘’Kamu enggak baik-baik saja’’
Ucapnya.
‘’SELESAI’’