Kamis, 29 Desember 2016

CURHAT BANGSAT


“Kenyataan memang identik dengan hal-hal bangsat”, ujarmu tenang, lalu melihat ke arah kosong, menghirup udara dengan berat. Ada yang berbeda darimu malam ini. Mungkin sedikit berdandan, ada olesan lipstik di bibir, dan kamu juga memakai parfum yang bisa aku rasakan dengan jarak 5 meter. Aku sedikit kaku, karena terbiasa melihatmu berbalut kaos, celana jins  dan rambut dikuncir kuda. 

“Aku akan membuat pengakuan malam ini” katamu, sedikit senyum. Seolah sebagai pria sekaligus sahabatmu, aku hanya dianggap cermin yang memantulkan bayangmu sendiri. Menjadi sesuatu yang selalu kamu butuhkan. Aku selalu memakluminya. Di pesan singkat, kamu hanya memintaku untuk menemani ngopi sambil mendengarkanmu bercerita.

Dua gelas kopassus yang menawarkan banyak kafein diantar ke meja. Aku langsung menyeruputnya, meski itu membakar ujung lidah, bangsat! Aku mencoba tenang di depannya. Mungkin saja, malam ini akan menjadi sesuatu yang luar biasa.

Kopi ini menjadi favorit kami berdua, aku sangat menyukainya karena kafein itu mencoba  menendangku secara dahsyat.  Namun bagimu, kopi di kedai ini menawarkan hal beda bagi setiap pengunjungnya, karena mau menukarkan secangkir kopi pahit bagi setiap cerita getir yang ditawarkan oleh pengunjung. Kamu bangga karena selalu ada cerita getir untuk ditukarkan.

“Detik ini, aku lahir kembali”

“Kamu bereinkarnasi?”

“Bisa dibilang begitu” kamu tersenyum lagi, menyeruput kopi itu yang sebenarnya tinggal ampas saja, “aku.. sudah mengakhiri semua” kamu mulai menarik napas secara berantakan. Memandangi sawah yang sebenarnya hanya menampakan siluet hitam. Kedai ini cukup bising, berada tepat di samping persawahan, tapi kamu menyukainya, “Karena sunyi akan melahirkan luka” Begitu katamu saat kedua kalinya kita ke tempat ini. 

Aku memandangi matanya, menunggu kalimat selanjutnya.

“Berakhir! Bertahun-tahun aku ingin tahu perasaannya. Dia menolakku dan aku cukup tahu diri untuk mundur. Yeey aku berhenti, cheers!” kamu sentuhkan gelasmu ke gelasku yang menimbulkan bunyi “ting” dan kamu menghabiskan semua ampas kopi yang tersisa ke tenggorokan. Aku rasa itu lebih menyesakkan dibanding kenyatan bahwa kamu harus berhenti berharap.

Ada perasaan lega, dan jantungku cukup berkontraksi dengan cepat saat kamu mengikrarkan kebebasan. Aku cukup diam dan kamu bertindak memaklumi dengan cara meremas tanganku. Saat brengsek itulah neurotransmitter mulai bekerja dengan maksimal. Aku merinding, memandangi matamu dengan sabar. Mungkin untuk sebongkah sentuhan fisik inilah, kamu mau berdandan untuk bertemu denganku. Dalam beberapa menit aku tahu, apa yang akan terjadi selanjutnya. Kamu menunduk, memandangi meja kosong, seolah di tempat itulah berkumpulnya kenanganmu bersamanya. Mimikmu mulai berkata-kata, gesturmu dipenuhi kegelisahan karenanya, dan air matamu jatuh hanya untuknya. Lambat laun meja kosong itu menjadi tempat paling meneduhkan untukmu memadu kenangan. Dan tanpa disadari kamu hidup bersama meja kosong itu. Kamu sendirian di tempat itu. 

Ceritamu selalu sama saja selama bertahun-tahun, tentang satu objek yang sejujurnya aku benci untuk mendengarnya. Kamu sudah buta, kamu dibuat luka, kamu dibuat bahagia, kadang kamu merindunya. Tapi seringnya kamu dibuat nelangsa. Tapi bodohnya kamu menikmati gejolak sialan itu. Aku mulai gila melihatnya.

Aku mengusap lenganku dengan tangan, membuat panas untuk tubuhku sendiri. Udara mulai dingin seiring dengan berjalannya detik menuju dini hari. Tiupan angin dari arah sawah mulai membuatku meriang. Aku lupa membawa jaket, karena saat menerima pesan darimu aku langsung menyalakan motor dan menuju tempatmu tanpa memikirkan kesehatanku yang harus menempuh perjalanan satu jam. Aku hanya ingin berada di dekatmu segera, saat kamu membutuhkanku sebagai teman ngopi dan kamu bercerita tentang lelaki bangsat itu.

“Mungkin saat ini, aku berada dalam titik nadir kehidupan. Aku merasa lelah sampai tulang. Aku sudah menyerah dengannya. Kamu tahu? Aku hanya butuh seseorang yang mau menempuh perjalanan satu jam hanya untuk menemaniku ngopi dan bercerita”

Kamu mengalihkan pandangan ke arah lain, menolak untuk memandangku. Aku tahu kamu sedang menahan untuk menangis. Kamu menelan ludah dengan berat. Entah sakit dalam bentuk apa yang sedang kamu konstruksikan. 

Dengan sedikit kehati-hatian tanganku memeluk tangannya, aku juga tidak bisa mengatur perasaan saat itu. Dan saat itulah malam tanpa akhir kita resmi dimulai. Dan kamu secara perlahan meneteskan air mata yang susah payah kamu bendung. Sedangkan aku susah payah untuk tidak melepas tanganmu sambil menepuk satu dua kali.

“Ini.. tangisan terakhir” ucapmu terbata, berusaha tampil biasa saja seperti saat menonton film yang tokoh utamanya harus berakhir mengenaskan. Kamu lalu tertawa. Getir. Aku tahu kamu ingin menangis sampai sesenggukan, tapi kamu hanya menarik ingus cepat yang menandakan kalau, “aku sudah tidak apa-apa”

“Orang yang sedang sibuk-sibuknya, saat hujan, perjalanan jauh, mau datang.. menemaniku” dengan berat kamu bicara.

Lalu aku mengingat saat itu. Hujan deras dan aku sedang sibuk dengan revisian bab 3. Tiupan air hujan mengetuk-ngetuk jendela kosku seperti alarm yang mengganggu aktifitas sakral tidurku di hari minggu. Dering pesan bunyi sekitar pukul 5 sore, aku langsung menutup laptopku, memanaskan motor. Ada seseorang yang menginginkanku berada di dekatnya. Kamu tahu aku pasti datang, sebagai angin yang akan menghembuskan segala hal yang kamu inginkan.

Aku menuju ke tempat yang ia alamatkan, sebuah perpus. Aku melepaskan jaketku yang basah kuyup. Meninggalkan kaos yang sedikit basah. Bodohnya aku tidak pakai mantel karena tidak mau rugi membuang waktu mencari benda konyol itu yang entah berada di mana. Aku hanya ingin segera berada di dekatnya. Itu saja.

Setelah tahu alasanmu mengajakku ke tempat ini, aku menggeleng heran. Tidak ada yang istimewa memang, dari menunjukan buku-buku kuno, dan aku hanya disuruh mencium baunya. Katamu itu nikmat luar biasa, dan aku harus merasakannya mumpung masih punya kesempatan. Brengsek! Kekonyolan macam apa ini. Tapi entah mengapa aku memang menikmatinya. Entah mengapa bisa demikian.

“Sekarang kamu mau gimana?” aku bertanya dengan pelan, seolah sudah terprogram dengan sendirinya.

Kamu tetap diam dengan pandangan kosong. Memandangi satu titik yang tidak bisa aku jangkau. Sampai kapanpun kamu akan tetap begitu. Kamu tidak sadar. Kamu selalu sendirian di ranah itu. 

“Menikmati suasana ini sampai pagi. Dan kita cukup berdiam-diaman saja”

Ada persinggahan di depanmu. Tapi kamu terus menanti. Kamu tetap menunggu. Tempat yang kosong.

Senin, 08 Februari 2016

SURAT TERTUTUP UNTUK JON SNOW




Hai, Jon! Aku tahu kabarmu tidak baik karena terakhir liat, kamu udah mati dikhianati oleh The Crows yang tak lain adalah sekutumu sendiri. Gimana Jon rasanya di tusuk dari depan? Selain sakit, juga berdarah kan?

Tapi aku punya teori sendiri Jon yang belum disepakati oleh pakar konspirasi fundamentalis yang suka baper kalau liat Jokowi followernya banyak, mereka berdalil kalau blio beli followers. Asal kamu tahu Jon meski itu benar kamu tidak ada sangkut pautnya dengan itu semua. Aku hanya ingin membahas saja, tiba-tiba insting politik virtual-enthusiast membara, maklum sedang PMS. Segala sesuatu yang dipikirkan wanita sedang PMS adalah pembenaran hakiki, siapa yang tidak sepaham akan dilibas tuntas!

Oke sori, Jon. Aku jadi ngelantur kemana-mana. Gini, aku tidak percaya kalau kamu dibuat mati oleh om Martin. Aku tidak percaya kalau darah merah yang berceceran kemana-mana di atas salju putih itu adalah darahmu, Jon! Mungkinkah itu hanyala jus tomat yang kebetulan kamu minum sebelum hidangan makan malam?

Ah apalah aku ini hanyala wanita dhaif yang dikit-dikit khawatir dengan kesehatanmu, Jon.

Aku boleh menebak-nebak tentang nasibmu di season 6 kan, Jon?
Aku tidak akan percaya kamu mati begitu saja tanpa selamat tinggal meski memang begitu seharusnya 'untuk apa mengucapkan selamat tinggal kepada seseorang yang tidak bisa hidup bersama' ah maaf Jon aku memang suka baper.

Mungkin saja kamu itu dihidupkan lagi oleh Melisandre si penyihir Apatis yang Fundamentalis,  baginya segala sesuatu menjadi hak pembenaran untuk pemujaan kepada Dewa Api. Maklum Jon dia itu juga perempuan dan suka PMS.

Atau Mungkinkah kamu itu sang Azor Ahoi? Pangeran yang dijanjikan itu, bukan si Stannis Baratheon meski blio udah mengorbankan anak dan sepupunya mati dengan kejam demi tahta yang tidak bisa dimilikinya? Aku tahu, hati Stannis pasti kecewa, blio mengira dialah pangeran yang dijanjikan itu, eh ternyata bukan dan palah mati juga. Apapun rasa kecewa itu, aku juga pernah merasakannya, Mz.

Yang ke-dua, Jon! Mungkinkah mayatmu dibuang ke luar the wild, yaitu gerbang yang memisahkan westeros? Kalau begitu kamu akan menjadi White Walker? Aku tidak mau itu terjadi, Jon! Aku liat The king walker sepertinya tertarik denganmu. Kamu ingatkan saat kalian meminta bantuan the wildings untuk bergabung, eh ternyata justru diserang oleh ribuan 'the white walkers' Astaga! itu ngeri, Jon.
 (Ini  wajah the king walker di episode Hardhome, at all ini paling keren di season 5)

Aku yakin Jon kamu itu adalah analogi dari 'A song of ice and fire' yang berarti kamu itu bukanlah anak haramnya Ned Stark tapi Anak dari Lyanna Stark dengan Rhaegar Targayen dari hubungan gelap yang berarti namamu harusnya 'Jon Starkgayen' perpaduan antara dua klan tersebut.

Kamu memiliki darah Raja, Kamu pantas menduduki 'The Iron Thrones' meski pertempuran akan lebih seru kalau kamu jadi The walkers untuk melawan manusia yang dengan jelas pemimpinnya adalah Daenerys Targayen dengan tiga naganya. 
Tapi aku tidak mau kamu memiliki darah dingin, Jon. Cukup gebetanku saja.

MAGIC MINUTE Chapter IV ''Satu Kisah yang Tidak Harus Dipercaya''

CHAPTER IV
‘’Satu Kisah yang Tidak Harus Dipercaya’’

Betapa indahnya senja itu merunduk dengan lesu, seperti dirujami rindu. Ormuzd yang berperan sebagai dewa terang tak bisa berbuat apa-apa kecuali menyatakan kekalahannya kepada Ahriman. Gelap mulai menyelimuti langit-langit sore. Burung-burung mulai bergerombol berterbangan kembali ke sarang dengan campuran riuk angin-angin yang tenang. Aku menyeruput kopi, masih hangat. Sedang lelaki di sebelahku masih khusyuk memandang palet langit-langit Azura yang mulai pudar jingganya. Sungguh tampan ketika muka mulus itu terpampar sinar kekuningan, ingin aku.. sssst jangan diteruskan nanti ada anak kecil baca. Bahaya!
Inilah kita sekarang, bukan hanya kumpulan subjek yang beratasnakaman ‘’aku dan kamu ’’ tapi sudah menjadi satu kesatuan yang berbentuk ‘’kita’’. Aku tidak sungkan lagi untuk menuliskannya. Karena dalam aku, sudah ada kamu, begitu juga sebaliknya. Aku memegang tangannya yang hangat, tidak lebih hangat dari kopi yang baru saja aku seruput itu. Aku mencium tangan itu dengan lembut. Sedang senja sudah tidak menampakan apa-apa lagi. Hanya ada lilin dihadapan kita sebagai pemanis romansa. Dan aku bisa melakukan apa saja dengannya tanpa sungkan. Ah maaf, khusus kisah ini memang tidak diperuntukan dibaca oleh anak-anak. Eh tunggu.. sebentar! Kenapa di kisah ini aku dibuat menjadi pihak yang agresif? Ah tidak masalah, jika aku memang mau he..he.
Beginilah akhir dari kebahagianku. Pada akhirnnya Tuhan menyerah dengan rengekan doa-doaku. Entah dengan suka atau duka, Ia sudi mempersatukan dua orang sinting ini. Aku tidak ingin menjadi waras jika itu indikator untukku berpisah dengannya. Lagian apa itu waras juga masih diperdebatkan oleh Hegel dan kawan-kawannya.
Keluarga mungil yang bahagia, dengan rumah kecil yang sederhana. Taman luas dengan berbagai tanaman bunga. Ada perpustakaan dan ruang santai untukku menghabiskan berajam-jam di sana. Aku bilang padanya ‘’aku gak mau rumah besar, nanti capek bersih-bersihnya’’ dia cuma senyum meng-iyakan. Aku juga bilang ‘’aku mau ada danau di belakang rumah biar bisa duduk berdua, ngobrol santai sambil melihat senja’’ dia senyum lagi-lagi meng-iyakan. Kamu tahu betapa bahagianya aku memiliki dia. Pegang dadaku deh, pelan saja tapi. Denger nggak? Kayak ada suara air mendidih. Panas dan meletup-letup.
‘’Kasian Socrates, di saat anak-anak jaman sekarang lagi suka main game, anime dan sosmed, dia di jaman dulu justru sibuk murung sambil ngorek-ngorek tanah’’ ucapku santai sambil menyeruput kopi yang mulai dingin. Inilah keseharian kita, ketika selesai berutinitas. Membicarakan hal-hal tidak penting diantara hal paling tidak penting lainnya. Tujuannya adalah untuk menjaga hal-hal penting agar tetap eksis. Itu kutipannya Wisnu Nugroho di bio twitternya.
‘’Murung juga bagian dari proses berfikir. Aku berfikir maka aku ada. Mungkin dengan murung itulah, dia merasa menjadi ada’’
‘’Haha cogito ergo sum’’
‘’Mungkin Thomas Alva Edison juga demikian ketika menciptakan lampu. Dia berada dalam ranah kosong, kegelapan, yang menurut Plotinus gelap itu tidak ada yang ada hanya kekurangan cahaya’’ dia henti sejenak, menyeruput kopi sambil memandang genangan air danau yang bersinar akibat pantulan cahaya bulan. Aku mengamatinya.
‘’Lalu?’’
‘’Munculah lampu’’
‘’Udah?’’
‘’Hmm’’
‘’Sungguh pernyataan yang cerdas, inspiring!’’
Hahaha.. kita tertawa dengan kebegoan masing-masing.
‘’Emilia Clark pernah gak sih kesleo lehernya pas lagi ngulet?’’
BRUZZZZZZZz!!! Terdenger dentuman seperti roket berkekuatan massiv meledak di samping rumah kami. Aku terperanjak mencari asal-muasal suara itu. Dia masih duduk santai di kursinya nyomot gorengan lalu memasukan cabe ke mulutnya. Keadaan menegangkan dengan sentuhan dark ini seperti perpaduan antara Romantisme Jerman dengan Eksistensialisme Klasik. Beberapa makhluk aneh muncul, bentuknya seperti lobster yang bisa berdiri dan memiliki dua kaki. Mereka mengerubungi kami. Baginya kami ini hanyala sepotong risoles yang jatuh dilantai lalu dikerumi laler-laler, dan merekalah lalernya.
‘’Siapa kalian?’’ ucapku tegang, aku memegang lengan suamiku, menikmati ketegangan Fasisme Mussolini.
‘’Apa kalian ini Homarus?’’ ucap suamiku sok tahu.
‘’Kamu benar, kamu tahu namaku, kalau begitu aku tidak jadi menyerang kalian, aku akan kembali ke dimensiku. Selamat tinggal’’ ucap monster itu gembira.
‘’Heh jangan sontoloyo kamu, bukannya kalian itu hanyala makhluk Tuhan yang salah rupa!’’ ucapku sok tahu juga.
‘’Biadab!’’ ucap monster itu yang tahu kalau dia begitu.
Monster-monster yang berjumlah puluhan itu mulai membentuk lingkaran merubungi kami berdua yang berada di tengah-tengahnya. Mereka mengelurkan semburan api dari mulutnya. Tuhan mungkin sedang sibuk sehingga lupa bahwa Naga yang harusnya berperan seperti itu. Ah suka-suka Tuhan lah.
CRAAAAZZZZ! BRUZZZZZ! PRAAAAAKKK! PREKETEKKKK! KREK! KREK!
Suara leher suamiku yang diplintir ke kanan dan ke kiri, dia sudah berancang-ancang untuk melindungiku.
‘’Palu Thor!!!’’ tangan kanannya menengadah ke langit.
JDAAAARRR! Suara petir bergemuruh. Lalu sesuatu melucut seperti kilatan dengan kecepatan cahaya menuju ke tangan suamiku. Itu palunya Thor. Huahahahaha tawanya keras, bahagia dia.
‘’Kalian monster salah rupa tidak akan bisa dengan sontoloyo menginvasi bumi!’’
‘’Rasakan ini, mahluk berbau manusia!’’ wuzzzzz semburan api muncul dari mulutnya, namun dengan sigap suamiku menghalau dengan palu Thor.
JDARRRRRRR! Suara petir kedua datang lebih gemuruh, seseorang meluncur dari petir itu, ia bermuka garang dengan baju besinya.
‘’Siapa kamu?’’ ucapku deg-degan.
‘’Aku Thor, kembalikan paluku!’’

HAHAHA! Aku tertawa geli, menutup muka saking malunya membayangkan hal-hal ajaib seperti itu.
‘’Kamu autis apa gimana sih dari tadi ketawa-ketawa sendiri ga mau bagi”
‘’Cinta bisa saja autis, tapi itu yang buat kamu beda’’
‘’Monyong!’’
Aku dan temanku sedang duduk di pojok salah satu rumah makan langganan. Aku suka pojok, bukan berarti suka dipojokkan atau memojokkan sesuatu, suka aja, nggak ada alasan apapun.
Masih pertengahan November, dan lagu surya kembara mengiringi sore itu. Aku tidak lagi rindu dengan siapapun. Aku hanya ingin mendengar lagu itu di bulan hujan, dan kebetulan ada kata ‘merindu’ di akhir liriknya. Epik!
Seperti biasa, aku kesepian yang termanipulasi menjadi kurang kerjaan. Ada segelas susu serta beberapa biskuit untuk menemani rasa brengsek itu. Aku membuka sosmed dan menemukan satu pesan yang ketika aku buka, lagu surya kembara telah usai dengan kata ‘merindu-nya’ yang entah bagaimana aku sadar, apa yang aku rindukan telah hadir dalam bentuk virtual.
‘’Aku minggu kemarin ke Jogja. Niatnya pengen mampir, eh kamu di sms gak masuk’’
Itu yang tertulis di pesan, aku biasa-biasa aja awalnya ketika membaca. Namun, lagu The Smiths- Heaven knows I’m miserable now bersuara lain, seolah-olah menyadarkan kalau aku sedang dipecundangi takdir. Mungkin Tuhan belum menakdirkan aku dan dia untuk bertemu dalam realita fisik yang utuh, karena saat itu aku sedang jerawatan. Tapi itu bukan prioritas! Aku tidak ada masalah dengan tampilan mukaku saat itu. Aku sudah cantik dalam keadaan apapun, dalam indikatorku sendiri. Tapi Tuhan mana tahu itu? Aku tidak harus dipertemukan dengannya dalam keadaan cantik kan? Intinya, aku mengutuk takdir dan segala kebodohanku untuk tak acuh dengan ponsel sendiri yang lebih memilih mengaktifkan paket kuota.
‘’Hah ngapain? Kapan ke Jogja lagi?’’ aku seolah-olah terkejut, entah dia sadar atau tidak, aku memang terkejut dengan kebodohan diri sendiri.
Mungkin kesannya aku sedikit memohon untuk dia mendatangiku saat ke Jogja lagi. Dia memang akan datang untuk urusan pekerjaan, sekitar akhir minggu ini. Dan selama satu minggu itu, setiap mau mandi aku jadi suka ngacak-ngacak air di bak mandi. Itu hanya bentuk eskapis saat aku marah dengan diri sendiri.
Satu minggu berlalu. Dia tidak menghubungi. Persetan dengan gengsi! Untuk kali ini, aku merasa tidak masalah ketika harus menghubungimu lebih dulu untuk menanyakan ‘’kamu jadi datang?’’ Aku ingin menemuinya. Rasa haus ingin bertemu, entah mengapa lebih mengeringkan dari tanah yang menahun tak dirundungi hujan. Begitulah analogi yang dikatakan pujangga sok romantik itu.
Desiran karbondioksida semakin memenuhi ruang 2x4 yang aku tinggali selama beberapa waktu ini. Tak ada bunyi lain selain ‘’kruyuk..kruyuk’’ dari perutku yang aku abaikan. Sampai saat ini aku tidak tahu, mengapa seseorang bisa menyayangi suatu hal, melebihi rasa lapar dari perutnya sendiri. Mendadak aku lelah untuk menjelaskan jenis lapar secara fundamentalis. Yang aku tahu, kamu memang tidak datang.
Kedatanganmu bagiku hanyalah menstruasi yang tidak tepat waktu. Adakalanya hormon menjadi penghambat. Jika tidak ada sel sperma yang membuahi, dinding rahim itu akan runtuh. Dan kamu akan datang. Aku yakin itu.
Aku menyayangimu, melebihi dari siapapun. Meskipun aku menyayangimu, aku ingin sekali marah. Aku ingin meneriakan kekesalan ini dengan siapapun yang ingin mendengar. Kamu tahu? Aku ingin kamu ada. Meski kamu selalu ada. Selalu hadir dalam realita fisik yang tidak utuh. Aku ingin kamu benar-benar ada, merasakan hangat saat dua tangan saling berjabat. Aku ingin kamu ada di sini, menemaniku. Membicarakan rumus mekanika kuantum atau tentang bagaimana ikan paus melahirkan tanpa ia harus mengerang kesakitan. Aku ingin membicarakan apapun yang tidak penting denganmu. Berdebat tentang teori-teori bullshit yang tidak akan menghadirkan perdamaian dunia. Kendati begitu, aku akan merasa nyaman.
‘’Aku belum ke Jogja, kemungkinan akhir bulan ini’’
Mendapat pesan itu aku semakin mengutuk rasa brengsek ini. Akulah oportunis yang menginginkanmu datang. Entah bagaimana bisa, kata ‘’kemungkinan’’ bagiku hanyalah fana, ia hadir sebagai pelengkap kalimat yang menyatakan bahwa aku terlalu banyak berkhayal yang menginginkanmu ada.
Akhir bulan sudah lewat, bahkan akhir tahunpun datang. Aku sudah menunggumu selama itu dengan perasaan dinamis yang bergerak monoton. Aku ingin percaya dengan segala kemungkinanmu, sungguh aku ingin begitu. Tapi tidak dengan takdir. Ia berencana lain yang tidak sependapat denganku. Dialah yang apatis selama ini mengatur urusanku.
Perkara kehadiran, entah mengapa menjadi hal yang rumit. Kamu seperti rasa kebelet pipis yang jadwal hadirnya tidak bisa diprediksi. Bagimu mungkin ini sesuatu yang sepele. Karena masing-masing rasa kita berbeda. Kamu tidak pernah tahu, aku menunggumu kesakitan yang selalu percaya dengan kata ‘kemungkinanmu’ untuk hadir. Tapi kamu di sana mungkin saja sedang asik main Clash of Clans yang tidak pernah aku mengerti cara mainnya.
Aku membiarkan dua bulan terbuang dengan penungguan sia-sia. Aku meronta kesal dengan jalan hidupku sendiri. Kalau Tuhan baik, apa boleh aku meminjam catatan-Nya untuk mengintip sedikit tentang pertemuanku dengan makhluk sinting itu? Adakah tertulis di sana? Jika memang ada, aku pasti bahagia.
Siang itu mendung, sudah Januari. Tapi aku tidak menginginkan apapun dari bulan kelahiranku itu. Banyak suara, tapi kali ini aku tidak merasa terganggu. Aku membiarkannya masuk ke telinga dan suatu saat aku pasti akan mengingatnya. Bahwa aku sedang berada di candi, untuk meluapkan perasaan. Aku menjadikan keinginan bertemu dan segala kekesalan sebagai rahasia untukku nikmati sendiri. Akan aku simpan rapat-rapat di tempat ini. Aku berkeliling candi mencari celah lubang untukku bisa berbisik di sana.
Aku meletakkan kepalaku di puing. Merabanya dengan tanganku untuk meyakinkan bahwa ia akan baik-baik saja mendengar segala resah. Dan di lubang itulah aku bercerita segalanya. Tentang kisah dua orang sinting yang tidak harus dipercaya.
Aku hanya ingin bertemu denganmu. Entah mengapa memang harus.

TO BE CONTINUE~

 Baca cerpen sebelumnya, here--> S.H.M.I.L.Y

Sabtu, 23 Januari 2016

TRADISI JAJAN PASAR RIWAYATMU KINI

FEATURE
Metode Penelitian Komunikasi (kualitatif)

“TRADISI JAJAN PASAR RIWAYATMU KINI”

Ditulis oleh: Wiwin Winarni

Modernisasi menjadi lakon utama dalam mereduksi budaya yang semakin hilang jati dirinya. Keunikan tradisi jawa  ‘’jajan pasar’’ yang dahulu saat saya masih kecil, sekitar awal tahun 2000-an menjadi piral utama dalam perayaan momen sakral sudah tidak nampak lagi. Proses pragmatis yang diafiliasikan ke ranah modern menjadikan tradisi di masa kecilku itu lambat laun menghilang menjadi artefak budaya yang digantikan ke hal-hal instan.
Anak-anak di masaku dulu sangat bereuforia ketika ada tetangga merayakan momen penting sebagai ungkapan rasa syukur dengan menggunakan tradisi tersebut. Berbagai jajanan pasar yang terdiri dari gethuk, pilus, ciwel, lanthing, onde-onde, dan pecel tersaji dalam nampan berbentuk bulat yang diletakan di atas bokor berisi air dan uang siap diperebutkan oleh sekawanan anak-anak maupun orang dewasa.
Bagiku momen itu menjadi estetika yang sayang untuk dilewatkan ketika saling tarik-menarik hanya untuk mendapat uang di bokor tersebut. Bagi anak-anak seusia kami mendapat uang secara cuma-cuma selain sebagai tambahan uang jajan juga menjadi eskapis tersendiri untuk tetap menikmati kebahagiaan dengan sentuhan budaya.
Apa yang nampak sekarang sebagai apresiasi perayaan syukur sudah berbanding terbalik, jajan pasar sudah menjadi riwayat yang entah kapan akan kembali menjadi rutinitas budaya di desaku itu, Desa Karangjati yang berada di sudut Sampang, Kota Cilacap. Banyak arah lalu lintas menjadi portal masuknya modernisasi yang melunturkan tradisi jajan pasar. Sekarang yang nampak hanyalah pragmatisasi dengan sekedar memberikan uang kepada anak-anak atau apresiasi syukur dengan acara yasinan biasa dengan polesan religus tanpa adanya sentuhan budaya jajan pasar yang menjadi khas desa kami.
Asal-usul lahirnya tradisi jajan pasar adalah dari budaya jawa itu sendiri yang dibawa oleh para Sunan saat menyebarkan agama Islam. Namun, jajan pasar yang saya kenal sudah dimodifikasi sesuai dengan standar daerah kami. Implikasi dari tradisi ini dikembangkan sesuai keadaan masyarakat yang berada di daerah pertengahan antara jawa kekeratonan dan budaya ngapak. Lambat laun tradisi ini diakui dan selalu menjadi peron utama saat acara syukuran bagi masyarakat menengah hingga atas.
Tradisi jajan pasar yang dikenal di daerah saya bukan artifisial dari jajanan tradisional yang dijual di pasar namun lebih ke persoalan budaya dan nilai-nilai spiritualisme tentang bagaimana orang-orang daerah kami berucap syukur kepada Tuhan atas segala kelimpahan dan kebahagiaan menggunakan ritual religius. Ritual dari jajan pasar adalah memadukan berbagai jajanan tradisonal dengan sesajen yang terdiri dari kembang-kembangan serta bubur nasi putih dan merah, bubur nasi merah itu sendiri adalah nasi yang dicampur dengan gula jawa.
Ritual religius berarti instrumen dari ritual tersebut dipadukan dengan sentuhan religius. Berbagai jajanan pasar dan sesajen diletakan di nampan bulat di atas ember yang berisi air serta uang recehan. Anak-anak maupun orang dewasa berkumpul mengelilingi dan pemimpin doa menjadi maskot utama dalam pergelatan persembahan rasa syukur melalui panjatan doa-doa bernuansa islami.
Ibu Katiyem (85) adalah salah satu sesepuh dari desa saya yang masih rutin menggunakan tradisi jajan pasar. Baginya tradisi ini merupakan cara yang mudah untuk ucapan rasa syukur yang memiliki arti sepasar atau merata. Ketika sembuh dari sakit ia juga kerap menggunakan tradisi ini.
Jajan pasar juga memiliki makna simbolik yang bervariasi selain interpretasi dari ucapan rasa syukur juga digunakan sebagai keba (tujuh bulanan). Namun, ada sedikit berbeda, jajan pasar untuk keba biasanya ada belut yang di letakan di bokor beserta dengan uang recehan. Belut tersebut bersimbolisasi untuk kelancaran saat proses lahiran.
Masyarakat jaman dahulu percaya dengan hal-hal seperti itu, meski saat ini jarang sekali ditemukan perayaan keba menggunakan jajan pasar. Biasanya mereka hanya syukuran/slametan di rumah dengan mengundang warga, sekedar proses religius tanpa adaya tradisi budaya.
Selain belut yang memiliki pesan simbolik dalam tradisi ini, bubur putih dan merah juga memiliki arti tersendiri. Bubur putih bermakna untuk saudara/ sedulur muda sedangkan merah untuk sedulur tua, yang berimplementasi pada keterikatan antar saudara. Segala hal yang berkaitan dengan jajan pasar memiliki simbolisasi yang dipercaya secara turun temurun. Bagi yang percaya akan tetap melestarikan tradisi tersebut, tidak peduli meski arus modernisasi mengakibatkan asimilasi yang akan mereduksi budaya aslinya. Orang-orang sepuh inilah yang patut diberi apresiasi sebagai aparat tradisi dalam mempertahankan identitas budaya.
Jajan pasar sudah dikenal sejak lama. Tidak diberi patokan siapa saja yang melakukan tradisi ini. Baik kalangan menengah bawah maupun atas diperbolehkan, asal berasal dari Jawa. Anak-anak adalah subjek utama yang diundang dalam tradisi ini karena euforia mereka sangat ramai dan diharapkan kesenangan mereka akan membawa keberkahan.
Saat masa kanak-kanak dahulu, saya selalu mengikuti tradisi ini bersama teman sebaya. Menjelajah rumah ke rumah untuk mengundang orang-orang. Lebih banyak yang mengikuti justru makin mengasyikan.
Saya selalu mengenang saat perebutan uang di dalam bokor. Biasanya saya selalu menjadi pihak yang mendapat uang paling sedikit dan baju yang paling banyak mendapat cipratan air. Inilah puncak kesenangan mengikuti tradisi ini. Ada beberapa orang yang berbuat jahil, saat anak-anak berebut uang receh di bokor, ia lantas mencipratkan air ke sana ke mari sehingga semua yang berada di situ basah kuyup dan tawapun lepas dari mulut kami masing-masing.
Dalam tradisi Jajan Pasar juga akan mengundang pemimpin doa untuk melafalkan berbagai ayat serta panjatan doa yang ingin dikabulkan oleh si peminta doa/yang melaksanakan Jajan Pasar. Pemimpin doa tidak harus dari kalangan Kyai, masyarakat awam juga diperbolehkan asal ia lelaki, sudah aqil baliq, dan hafal doa-doa. Biasanya isi doa tersebut adalah panjatan-panjatan untuk sesuatu yang ingin dicapai atau sesuatu yang sudah disyukuri.
Menurut Ibu Katiyem tradisi jajan pasar masih tetap ada dan tidak akan bisa ditinggalkan jika kalangan muda mau menjadi pionir untuk melestarikan budaya leluhur. Di era ini, hal-hal konservatif mulai terlihat kuno dan tidak peka terhadap perkembangan jaman, sehingga kaum muda tidak memiliki impresi untuk menggunakan tradisi ini sebagai apresiasi hari-hari penting dan lebih memilih sesuatu yang bersifat pragmatis. Hal ini juga menjadi salah satu faktor mengapa tradisi jajan pasar mulai jarang terlihat sebagai sebuah perayaan.
Ketika pikiran saya sibuk berlogika memikirkan alasan tradisi jajan pasar mulai ditinggalkan. Nalar justru berontak untuk mengkaji ulang tentang mengapa  ritual sesajen justru dipadukan dengan romansa religuitas. Mungkin inilah kehebatan modernisasi mampu membuka cakrawala pemikiran orang-orang awam untuk lebih kritis terhadap relativitas berbudaya atau pergerakan budaya menjadi lebih realis sesuai standar kekinian. Memadukan unsur agama dengan tradisi sesajen bagi mereka yang dogmatis justru memiliki arti yang kontradiksi. Bagi mereka apa yang tidak diterima akal akan ditinggalkan.
Bagi saya tradisi bisa dibilang suatu mesias yang tidak bisa direlasikan namun masih bisa diterima sebagai bagian dari pola hidup yang turun temurun. Ketika tradisi jajan pasar dengan perpaduan sesajen dan religius sangat sulit ditemukan relasi yang masuk akal untuk dipersatukan karena keduanya adalah klan yang berbeda. Namun, jika melihat dari segi nilai-nilai leluhur masih ada beberapa orang sepuh percaya bahwa itulah estetika dari culture-enthusias. Tradisi adalah bagian dari budaya sedangkan agama adalah nilai kepercayaan. Menggabungkan unsur-unsur tersebut berarti meleburkan dogma untuk menghormati Alam serta ke-Tuhanan-nya.

Indonesia Negara berbudaya dengan keanekaragaman yang variatif di setiap daerah. Tradisi jajan pasar adalah kebanggan daerah kami yang patut dilestarikan meski modernisasi kerap meminggirkan. Jika tradisi ini akan tetap ada sampai 50 tahun kedepan dan seterusnya maka budaya ini tidak hanya menjadi artefak yang akan diceritakan melalui dongeng anak-anak saja. Generasi mendatang pun harus bisa merasakan euforia serta kehangatan menghabiskan masa anak-anak dengan tradisi ini. Berbudaya bukan sekedar belajar teori-teori melalui pendidikan atau otodidak dengan kecanggihan teknologi saja tetapi mampu mempraktekan dan menjadi pelopor untuk mengembangkan tradisi leluhur agar tetap berjalan.

Jajan pasar di masa dulu masih bisa dinikmati secara humanis. Namun, seiring  tumbuhnya modernisasi tradisi tersebut justru terlihat humoris.

Narasumber: Ibu Katiyem (85 Tahun)