Selasa, 18 Agustus 2015

MAGIC MINUTE Chapter II ''Saat Cinta Tak Harus Diam''

Chapter II
‘’Saat Cinta Tak Harus Diam’’


‘’My Pain is Knowing I Can’t Have You’’ lirik lagu dari He is We yang paling bikin kadar kortisol meningkat lalu lari kesela-sela dada. Aku menyeduh kopi mocca yang sudah hampir dingin, waktu yang melarutkan panas kopi itu, karena aku tidak cepat-cepat untuk meminumnya. Suasana malam ini begitu aku nikmati kala sendiri. Duduk di teras rumah dengan gitar yang satu senarnya sudah putus dan suara yang dihasilkan pun tidak karuan. Bulan juga telihat akrab dengan bintang-bintang. Mungkin mereka sedang menjalin hubungan diam-diam. Karena mereka tidak suka mengumbar. Aku berimaji, kita berada di bulan dan sedang bertengkar karena sulit sekali menghitung bintang dengan counting yang benar. Lalu bintangpun tertawa, melihat dua makhluk autis sedang bertengkar. Aku juga tidak mau kamu seperti bulan yang mencintai banyak bintang. Semoga kamu hanya bulan, yang mencintai malam saja.
Sudah lama sekali dia tidak mengirim aksara, atau membuat banyolan yang membuatku senyum gila. Kadang aku rindu, dan cuma bisa menunggu bahwa rindu itu tidak hanya sebelah pihak. Aku berkali-kali cek handphone untuk memastikan bahwa bukan operator sialan yang rutin mengirim pesan. Bahkan saking kesalnya aku sampai browsing ‘’bagaimana cara memblokir nomor operator’’. Aku tiduran di kasur yang sudah tidak empuk lagi. Rindu itu menjelma seperti sarang laba-laba yang menggantung di beranda, terperangkap di jari-jari yang sudah mengetik kalimat rindu, namun susah untuk memencet tombol ‘’send’’.
Aku berfikir tentang dia di ujung batas sana sedang tertawa terbahak. Saling bertukar aksara dengan seseorang yang sudah menemaninya lama. Seseorang yang selalu ada dalam pikirannya. Bahkan untuk sekilas, aku tidak pernah hadir dalam benaknya. Mungkin saja aku hanya sebatas bintang jatuh, hadir sejenak lalu mengjilang tanpa bekas. Tanpa berfikir lama aku memungut ponsel yang tergeletak di meja, memencet satu nomor dan menelponnya.
Dering pertama.. kedua…ketiga…belum ada jawaban dan dering berikutnya…sama belum ada jawaban juga. Dan dering terakhir dari ujung sana, suara yang sangat aku kenal menyapa.
‘’Kalo aku cinta sama kamu gimana?’’ ucapku datar
‘’Apa?’’
‘’Ah! Ternyata gampang juga ngungkapin ya, yaudah deh aku tutup telponnya. Beda operator mahal nyet! Haha’’
‘’Anjir! Gak jelas banget sih orientasimu nelpon malem-malem’’
‘’Itu cuma lagi latihan ngungkapin perasaan, ternyata gak sesulit soal ujian matematika’’
Krek!!! Aku menutup telepon dan langsung tertawa terbahak. Mungkin sohib priaku yang malang itu sedang tertawa geli juga. Kasihan hidupnya sudah sering digangguin dan direpotin. Setelah terapis tawa untuk meningkatkan hormon endorphin, aku kembali rebahan di kasur yang masih belum empuk juga. Aku mulai terlelap dan saat detik menuju dunia matrix, tiba-tiba ada niatan untuk tidak membiarkan ini semua diam terlalu lama. Mungkin benar katanya, sudah waktunya aku menulis kisahku sendiri dan mencoba jujur kepada diri sendiri. Tentang apa yang aku rasakan dan apa yang aku inginkan.
‘’He kamu ada waktu luang besok? Bisa ketemu di taman kota sepulang kamu kerja? Jam berapapun aku akan nunggu’’ tombol send akhirnya aku sentuh juga, dan saat itu juga konstraksi jantung bergerak cepat hingga lemas rasanya. Aku tidak jadi tidur, mata kembali terbuka lebar untuk menunggu balasan pesan. Semoga ada.
Sudah pukul 02.45 dini hari dan masih belum ada balasan juga. Sudah 30 menit menunggu sampai akhirnya ada satu pesan muncul di layar.
‘’Anda mendapat promo iRing GRATIS dari Gorgom Band- Kupungut Cintamu Dengan Alhamdulillah. Aktifkan promo ini dengan balas YA’’
Bangkeeeee!!! Saking kesalnya aku ingin segera terlelap, rasanya lelah, juga insecure. Mungkin setelah baca pesan itu dia berfikir, kenapa wanita ini gila sekali ngirim pesan jam segini. Ah ketahuan deh, kalo lagi rindu berat huhu.
Dua hari berlalu, tiga hari, empat hari dan belum ada balasan juga. Hingga akhirnya satu minggu sudah aku lalui dengan penantian  balasan pesan yang tak kunjung datang. Satu minggu pula aku jarang mandi, tidak shampoan dan lupa bagaimana cara tidur dengan layak, yang ada dalam pikiran hanya tebakan-tebakan tentang alasannya tidak membalas pesan. Apa dia tidak punya pulsa? Lupa caranya mengetik pesan? Tombol sendnya rusak? Jarinya tertukar dengan jari kaki? atau bisa saja handphonenya sedang digadaikan. Ah benar-benar kacau!
Satu minggu juga aku tidak kembali ke kota pelajar untuk mengikuti perkuliahan hanya untuk menunggu satu balasan pesan yang tidak ada kepastian. Serasa seperti jadi planet Pluto, diabaikan dan tidak diakui. Tidak pernah diakui sebagai wanita, dari dulu seperti itu selalu menganggapku sebagai ‘’gadis kecil yang tidak berarti apa-apa’’
Cling!...’’Maaf, baru bisa bales. Kirain kamu udah balik kuliah. Sekarang masih di rumah?’’
DEGG! Pupil mata melebar beberapa centi, melihat aksara-aksara itu bergantungan rapi di layar ponsel.
‘’Iya gapapa kok. Iya masih :D’’
‘’Sore ini bisa kok, emang mau ngomong apa? Atau mau ngopi film anime?’’
‘’Penting deh pokoknya, ya nanti aku sekalian bawa flash disk’’ aku pencet tombol ‘’send’’ sebelum kalimat itu terverifikasi dengan benar, dan akhirnya ngirim lagi ‘’Eh gak ngopi film deng, cuma mau ngomong doang haha’’ aku ngetik kalimat itu seolah-olah aku ceria, padahal gak begitu-begitu amat.
‘’Yaudah nanti sore aku hubungin lagi :D’’
‘’Y’’
Tidak apa-apa kan? Cuma jawab gitu, sok jutek dikit lah, meski aslinya udah loncat-loncat dan ekor sudah mau keluar saking girangnya. Yikhaaaaaaaaaaaaaa!
#...........................#
Dia sudah berdiri di ujung sana. Taman yang sudah kujanjikan untuk pertemuan antah berantah ini. Dari jarak sekitar 20 meter aku mengamatinya yang sedang duduk disalah satu bangku berwarna putih, lengan bangku itu sudah lecet dibeberapa tempat. Terkikis oleh sinar matahari atau hujan, atau entahlah. Mimiknya begitu bahagia ketika aku amati lebih dalam, itu seperti ekspresiku ketika mendapat pesan darinya. Aku tidak asing dengan ekspresi macam itu karena aku selalu merasakannya saat aku memikirkan hal-hal kecil tentangnya yang meski biasa saja. Aku berhenti di beberapa jarak yang sepertinya ia belum menyadarinya aku ada. Aku melihatnya. Melihat matanya. Tatapan bahagianya. Aku yakin, itu dia. Dia yang sedang bahagia dalam dunia virtualnya. Dia yang… sudah sadar aku ada.
‘’Eh hei, kirain mau ngerjain doang ngajak ke sini’’ ucapnya rileks dengan sedikit senyuman. Tangan kanannya yang tadi memegang ponsel langsung ia masukkan ke kantong, dan kebahagiannya pun lenyap terkubur dalam kantong itu.
Aku senyum seperti biasa. Ada keheningan dalam beberapa saat. Lalu semuanya musnah oleh suara angin yang melintas dan hanya menimbulkan gaduh olehku saja. Dadaku kembali berkontraksi cepat, semua ucapan seolah terperangkap dalam tenggorokan dan entah kapan akan aku tangkap.
Suhu panas tubuh menyebar dalam sekujur dada lalu menjalar ke wajah. Dan entah kenapa aku hanya bisa diam, di tempat itu bersama seseorang yang sedang memandang orang lain di jauh sana. Orang lain yang mengendap dengan indah di ponselnya.
‘’Kenapa?’’
Dia hanya bisa bertanya, dan aku hanya bisa bergeleng kepala dengan menutup wajah yang terus-menerus memanas. Entah kenapa aku bisa menangis di depannya. Semua kata-kata hilang berserakan oleh menit-menit yang semakin berjalan. ‘’Apa yang kamu lakukan sudah aku salah artikan, ternyata kebaikanmu cuma normatif belaka’’ kata-kata itu terperangkap di dinding tenggorokan. Aku hanya bisa diam, berdiri di depannya menjadi pihak yang lemah.
‘’Kamu nggak lagi ada masalah kan?’’
Dia terus-menerus melontarkan kalimat tanya. Tubuhnya mungkin sudah diprogram menjadi makhluk pengumbar kalimat tanya.
‘’Makasih udah datang’’ ucapku datar, dia hanya bisa memandangku dengan heran, matanya tidak menunjukan ekspresi yang aku temukan saat ia melihat ponselnya.
Kini, saat di depannya aku tidak bisa apa-apa. Bahkan untuk sekedar jujur dengan diri sendiri, jujur dengan perasaan sendiri. dan pada akhirnya cinta itu pun akan tetap diam. Entah kapan akan bersuara.
Aku membalikan badan, untuk segera meninggalkanya. Biarkan saja perasaan ini terperangkap. Entah apa yang aku takutkan, melihat matanya sudah menjawab bahwa penolakan yang akan aku dapat. Bertahun-tahun harusnya aku sadar, menunggunya secara elegan tidak akan merubah apapun, dia akan tetap di sana bersama dunianya, tempat di mana tidak akan pernah aku singgahi. Aku hanya wanita biasa, yang sedang mencintaimu secara kekanak-kanakan, aku tidak pernah mengerti bagaimana mencintaimu dengan dewasa dan elegan. Aku biarkan ini diam, menggantung di udara dan entah kapan aku akan memungutnya.
‘’Win?’’
Dia memanggil, dan aku juga merasa ada sesuatu yang menahan. Rasanya suhu tubuh kembali memanas. Tuhan! Dia menahanku.
‘’Ya?’’
‘’Ngg… anu’’
‘’Aku mau balik. Makasih udah mau datang, aku udah lega sekarang. Kamu jangan nahan-nahan’’
Aku merasakan dia sedang memegang ujung sweaterku, aku merasa ditahan untuk pergi. Rasanya pertahanan diri akan goyah. Aku ingin berbalik dan menatap wajahnya. Dan itu aku lakukan.
‘’Kamu jangan nahan aku per….’’
‘’Itu sweatermu nyangkut di paku kursi’’
Jengggggg…jengggg!!! Muka seperti di siram rebusan cuka. Rasanya bingung mau ketawa atau nangis. Aku kira dia memegang sweaterku untuk menahan pergi. Ternyata paku sialan itu yang  tidak rela aku beranjak kemana-kemana. Seperti hubungan ini, yang tidak akan beranjak bahkan 1 centipun.
‘’Hahahaa’’ aku hanya bisa ketawa. Dan diapun membuka mulutnya untuk tertawa juga.

Kenapa semuanya seperti menertawakan, bahkan paku yang tidak punya kehidupan pun, sanggup membuat amor dan humor secara gratis. Dan saat itupula aku sadar ‘’Saat aku tidak bisa memiliki sesorang untuk berbagi kesedihan, mungkin saja aku akan  mendapat seseorang untuk berbagi tawa, dengan seseorang yang membuat kesedihan itu sendiri’’.

To Be Continue~

MAGIC MINUTE Chapter I ''Menit di Ujung Senja''

Sebuah Cerpen 

MAGIC MINUTE



Chapter I
‘’Menit di Ujung Senja’’


Aku menendang-nendang kakiku karena gugup. Feromon mengalir deras dalam neurotransmitter yang melesat cepat bagai meteor yang berhasil menembus ozon. Degup jantung tak hentinya memanggil suhu panas dalam tubuh yang semakin membuatku tak bisa berfikir apapun kecuali, menunggunya dengan gaya santai. Gugup itu terhenti seketika, saat mata bulat itu muncul dan aku hanya menampilkan muka datar untuk menyambutnya.
‘’Hai!’’ Ucapnya dengan senyuman sembari melambaikan tangan kirinya, aku juga melihat tangan kanannya memegang plastik yang berisi jajanan.
Kini, di menit-menit menjelang senja aku dan dia berdiri di sebuah mini market. Perasaanku sudah mulai stabil ketika tangan kita berjabat untuk pembukaan salam. Dia terlalu banyak senyum, dan sayangnya itu indah. Aku juga menampilkan beberapa senyuman yang entah itu indah atau menggelikan baginya, aku tidak ingin memikirkan. Dari dulu, dia memang sudah imut sejak dalam pikiran.
‘’Kamu  gak beli jajan?’’
Aku hanya geleng kepala, sebagai tanda tidak ingin membeli apapun atau hanya sekedar untuk melemaskan otot-otot leher.
‘’Eh nih…’’ dengan santainya dia memberikan sesuatu berwarna hijau, bukan daun, apalagi duit 20 ribuan, dan yang aku tahu itu nori ‘’rumput laut’’ tapi seperti biasa, saking rendah hatinya aku berpura-pura tidak tahu.
‘’Itu apa?’’
‘’Udah makan aja. Langsung dimakan kalo enak, kalo gak doyan ya buang aja’’
‘’Oooh’’ aku menerima nori itu dan segera memasukan ke dalam tas.
Lalu, dia memberikan kantong plastik berwarna hitam yang berisi DVD. Dia memang sudah berjanji untuk memberiku film yang menurutnya harus kutonton karena banyak pelajaran dan kata-kata indah, dengan syarat aku harus serius untuk menontonnya. Setelah itu aku mengeluarkan gulungan kertas berwarna putih. Ragu saat itu, antara ingin memberikan atau harus aku simpan selamanya. Dan saat melihat matanya untuk beberapa kali akhirnya aku yakin, itu memang harus diberikan.
‘’Eh ini’’
‘’Apa nih?’’
‘’Eh itu…’’ beberapa detik aku kehilangan kontrol karena bingung untuk menjawab apa ‘’kan kamu ngasih DVD jadi aku ngasih ini, biar impas’’
Dari pertemuan ini memang tidak ada kata-kata indah atau adegan romantis seperti di FTV, hanya obrolan ini itu yang biasa saja. Dia mungkin dengan senang hati menerimanya, atau kalau boleh menebak, mungkin dia juga penasaran itu isinya apa, yang jelas itu bukan nori ‘’rumput laut’’. Ya, meski sama-sama digulung. Gelagatnya menunjukan dia akan membuka gulungan pemberianku itu. Eh, jangaaaan!!! Biarkan itu menjadi rahasia alam.
‘’Eh jangan dibuka di sini!’’
‘’Lah kenapa?’’
‘’Yaudah lah gajadi ngasih’’ dengan rada gugup aku hendak mengambil lagi gulungan ‘’keramat’’ itu.
‘’Yaudah… yaudah oke’’
Aku yakin dia penasaran apa isinya, tapi dia cukup gagah untuk menahan membuka di tempat. Gulungan keramat itu ia masukan ke kantong jaketnya yang berwarna kuning tua yang cenderung ke-orange-orange-an. Menit-menit pertama kita isi dengan obrolan ini itu yang tidak penting. Lalu ada sedikit penting, ketika ia membahas tentang masa kuliahnya dulu, menyinggung tentang fisika material. Sebagai mantan siswa jurusan IPA saat SMA, seenggaknya aku sedikit ngerti apa yang dia omongin. Ya, meski gak ngerti-ngerti banget. Tapi ngerti lah... dikit.
Aku tidak bercerita banyak, hanya membahas sedikit masa lalu tentang kegagalan. Dan dia mengerti ‘’Nggak apa-apa yang penting kamu udah dapat apa yang kamu butuhkan’’  Itulah kata-katanya yang lebih mudah dicerna dibanding obrolannya tentang fisika dan magnet-magnet. Aku hanya tersenyum, dia juga banyak senyum. Entah karena dia memang ramah orangnya atau memang sudah sejak dalam pikiran dia mudah senyum. ‘’Kamu jangan terlalu banyak senyum, nanti banyak yang suka. Aku cemburu soalnya’’ Ucapku dalam hati dan untungnya dia tidak mendengar. Kita akhirnya berpisah ketika senja sudah tidak menampakan apa-apa, hanya sepuluh menit waktu berjalan. Tapi, terasa sangat lama dan aku tidak ingin beranjak. Menit berharga yang merubah segalanya.
Darah mengalir sangat cepat setelah pertemuan singkat itu, sepanjang perjalan menuju rumah aku hanya senyum-senyum seperti orang gila yang susah kembali waras. Aku menyimpan ‘’nori’’ pemberiannya itu ke dalam lemari. Sampai kapanpun aku tidak akan berniat untuk memakannya, bahkan untuk sekedar memikirkannya.
‘’Gak nyangka itu gambar lukisan wajahku, aku kira gambar setan. Sempat hampir syok tadi. Haha keren, makasih banyak ya. Nanti mau aku pajang di kamar :D’’
Aku tersenyum-senyum geli ketika mendapat pesan darinya muncul di layar. Aku tidak bilang padanya kalau lukisan itu sudah dibuat sejak lama dan sebagai ungkapan perasaan. Dia pernah bilang ‘’Mengungkapkan perasaan tidak harus bicara. Boleh saja kamu memberikan sesuatu sebagai luapan perasaan. Tidak salah kalau wanita mengungkapkan, jadilah sekali-kali wanita yang berbeda. Buatlah kisahmu sendiri’’

Kita masih seperti biasa saling berkirim pesan dengan sedikit banyolan. Tak ada yang berubah. Dan untungnya dia tidak menyinggung sedikitpun tentang alasanku memberi lukisan itu ataupun curiga kalau-kalau aku ada perasaan, atau mungkin dia menutup  mata dan berpura-pura. Entahah, biarlah seperti ini, selalu seperti ini. Aku hanya ingin menikmati saat-saat ini. Dimana kamu ada, dan aku bisa merasakannya.

To Be Continue~