Chapter II
‘’Saat Cinta Tak Harus Diam’’
‘’My Pain is Knowing I
Can’t Have You’’ lirik lagu dari He is We yang paling
bikin kadar kortisol meningkat lalu lari kesela-sela dada. Aku menyeduh kopi
mocca yang sudah hampir dingin, waktu yang melarutkan panas kopi itu, karena
aku tidak cepat-cepat untuk meminumnya. Suasana malam ini begitu aku nikmati
kala sendiri. Duduk di teras rumah dengan gitar yang satu senarnya sudah putus
dan suara yang dihasilkan pun tidak karuan. Bulan juga telihat akrab dengan
bintang-bintang. Mungkin mereka sedang menjalin hubungan diam-diam. Karena
mereka tidak suka mengumbar. Aku berimaji, kita berada di bulan dan sedang
bertengkar karena sulit sekali menghitung bintang dengan counting yang benar.
Lalu bintangpun tertawa, melihat dua makhluk autis sedang bertengkar. Aku juga
tidak mau kamu seperti bulan yang mencintai banyak bintang. Semoga kamu hanya
bulan, yang mencintai malam saja.
Sudah
lama sekali dia tidak mengirim aksara, atau membuat banyolan yang membuatku
senyum gila. Kadang aku rindu, dan cuma bisa menunggu bahwa rindu itu tidak
hanya sebelah pihak. Aku berkali-kali cek handphone untuk memastikan bahwa
bukan operator sialan yang rutin mengirim pesan. Bahkan saking kesalnya aku
sampai browsing ‘’bagaimana cara memblokir nomor operator’’. Aku tiduran di
kasur yang sudah tidak empuk lagi. Rindu itu menjelma seperti sarang laba-laba
yang menggantung di beranda, terperangkap di jari-jari yang sudah mengetik
kalimat rindu, namun susah untuk memencet tombol ‘’send’’.
Aku
berfikir tentang dia di ujung batas sana sedang tertawa terbahak. Saling
bertukar aksara dengan seseorang yang sudah menemaninya lama. Seseorang yang
selalu ada dalam pikirannya. Bahkan untuk sekilas, aku tidak pernah hadir dalam
benaknya. Mungkin saja aku hanya sebatas bintang jatuh, hadir sejenak lalu
mengjilang tanpa bekas. Tanpa berfikir lama aku memungut ponsel yang tergeletak
di meja, memencet satu nomor dan menelponnya.
Dering
pertama.. kedua…ketiga…belum ada jawaban dan dering berikutnya…sama belum ada
jawaban juga. Dan dering terakhir dari ujung sana, suara yang sangat aku kenal
menyapa.
‘’Kalo
aku cinta sama kamu gimana?’’ ucapku datar
‘’Apa?’’
‘’Ah!
Ternyata gampang juga ngungkapin ya, yaudah deh aku tutup telponnya. Beda
operator mahal nyet! Haha’’
‘’Anjir!
Gak jelas banget sih orientasimu nelpon malem-malem’’
‘’Itu
cuma lagi latihan ngungkapin perasaan, ternyata gak sesulit soal ujian
matematika’’
Krek!!!
Aku menutup telepon dan langsung tertawa terbahak. Mungkin sohib priaku yang
malang itu sedang tertawa geli juga. Kasihan hidupnya sudah sering digangguin
dan direpotin. Setelah terapis tawa untuk meningkatkan hormon endorphin, aku
kembali rebahan di kasur yang masih belum empuk juga. Aku mulai terlelap dan
saat detik menuju dunia matrix, tiba-tiba ada niatan untuk tidak membiarkan ini
semua diam terlalu lama. Mungkin benar katanya, sudah waktunya aku menulis
kisahku sendiri dan mencoba jujur kepada diri sendiri. Tentang apa yang aku
rasakan dan apa yang aku inginkan.
‘’He kamu ada waktu
luang besok? Bisa ketemu di taman kota sepulang kamu kerja? Jam berapapun aku
akan nunggu’’ tombol send akhirnya aku sentuh juga,
dan saat itu juga konstraksi jantung bergerak cepat hingga lemas rasanya. Aku
tidak jadi tidur, mata kembali terbuka lebar untuk menunggu balasan pesan.
Semoga ada.
Sudah
pukul 02.45 dini hari dan masih belum ada balasan juga. Sudah 30 menit menunggu
sampai akhirnya ada satu pesan muncul di layar.
‘’Anda
mendapat promo iRing GRATIS dari Gorgom Band- Kupungut Cintamu Dengan Alhamdulillah.
Aktifkan promo ini dengan balas YA’’
Bangkeeeee!!!
Saking kesalnya aku ingin segera terlelap, rasanya lelah, juga insecure.
Mungkin setelah baca pesan itu dia berfikir, kenapa wanita ini gila sekali
ngirim pesan jam segini. Ah ketahuan deh, kalo lagi rindu berat huhu.
Dua
hari berlalu, tiga hari, empat hari dan belum ada balasan juga. Hingga akhirnya
satu minggu sudah aku lalui dengan penantian balasan pesan yang tak kunjung datang. Satu
minggu pula aku jarang mandi, tidak shampoan dan lupa bagaimana cara tidur
dengan layak, yang ada dalam pikiran hanya tebakan-tebakan tentang alasannya
tidak membalas pesan. Apa dia tidak punya pulsa? Lupa caranya mengetik pesan?
Tombol sendnya rusak? Jarinya tertukar dengan jari kaki? atau bisa saja
handphonenya sedang digadaikan. Ah benar-benar kacau!
Satu
minggu juga aku tidak kembali ke kota pelajar untuk mengikuti perkuliahan hanya
untuk menunggu satu balasan pesan yang tidak ada kepastian. Serasa seperti jadi
planet Pluto, diabaikan dan tidak diakui. Tidak pernah diakui sebagai wanita,
dari dulu seperti itu selalu menganggapku sebagai ‘’gadis kecil yang tidak
berarti apa-apa’’
Cling!...’’Maaf,
baru bisa bales. Kirain kamu udah balik kuliah. Sekarang masih di rumah?’’
DEGG!
Pupil mata melebar beberapa centi, melihat aksara-aksara itu bergantungan rapi
di layar ponsel.
‘’Iya
gapapa kok. Iya masih :D’’
‘’Sore
ini bisa kok, emang mau ngomong apa? Atau mau ngopi film anime?’’
‘’Penting
deh pokoknya, ya nanti aku sekalian bawa flash disk’’ aku pencet tombol ‘’send’’ sebelum kalimat itu
terverifikasi dengan benar, dan akhirnya ngirim lagi ‘’Eh gak ngopi film deng,
cuma mau ngomong doang haha’’ aku ngetik kalimat itu seolah-olah aku ceria,
padahal gak begitu-begitu amat.
‘’Yaudah
nanti sore aku hubungin lagi :D’’
‘’Y’’
Tidak
apa-apa kan? Cuma jawab gitu, sok jutek dikit lah, meski aslinya udah
loncat-loncat dan ekor sudah mau keluar saking girangnya. Yikhaaaaaaaaaaaaaa!
#...........................#
Dia
sudah berdiri di ujung sana. Taman yang sudah kujanjikan untuk pertemuan antah
berantah ini. Dari jarak sekitar 20 meter aku mengamatinya yang sedang duduk
disalah satu bangku berwarna putih, lengan bangku itu sudah lecet dibeberapa
tempat. Terkikis oleh sinar matahari atau hujan, atau entahlah. Mimiknya begitu
bahagia ketika aku amati lebih dalam, itu seperti ekspresiku ketika mendapat
pesan darinya. Aku tidak asing dengan ekspresi macam itu karena aku selalu
merasakannya saat aku memikirkan hal-hal kecil tentangnya yang meski biasa
saja. Aku berhenti di beberapa jarak yang sepertinya ia belum menyadarinya aku
ada. Aku melihatnya. Melihat matanya. Tatapan bahagianya. Aku yakin, itu dia.
Dia yang sedang bahagia dalam dunia virtualnya. Dia yang… sudah sadar aku ada.
‘’Eh
hei, kirain mau ngerjain doang ngajak ke sini’’ ucapnya rileks dengan sedikit
senyuman. Tangan kanannya yang tadi memegang ponsel langsung ia masukkan ke
kantong, dan kebahagiannya pun lenyap terkubur dalam kantong itu.
Aku
senyum seperti biasa. Ada keheningan dalam beberapa saat. Lalu semuanya musnah
oleh suara angin yang melintas dan hanya menimbulkan gaduh olehku saja. Dadaku
kembali berkontraksi cepat, semua ucapan seolah terperangkap dalam tenggorokan
dan entah kapan akan aku tangkap.
Suhu
panas tubuh menyebar dalam sekujur dada lalu menjalar ke wajah. Dan entah
kenapa aku hanya bisa diam, di tempat itu bersama seseorang yang sedang
memandang orang lain di jauh sana. Orang lain yang mengendap dengan indah di
ponselnya.
‘’Kenapa?’’
Dia
hanya bisa bertanya, dan aku hanya bisa bergeleng kepala dengan menutup wajah
yang terus-menerus memanas. Entah kenapa aku bisa menangis di depannya. Semua
kata-kata hilang berserakan oleh menit-menit yang semakin berjalan. ‘’Apa yang kamu lakukan sudah aku salah
artikan, ternyata kebaikanmu cuma normatif belaka’’ kata-kata itu
terperangkap di dinding tenggorokan. Aku hanya bisa diam, berdiri di depannya
menjadi pihak yang lemah.
‘’Kamu
nggak lagi ada masalah kan?’’
Dia
terus-menerus melontarkan kalimat tanya. Tubuhnya mungkin sudah diprogram
menjadi makhluk pengumbar kalimat tanya.
‘’Makasih
udah datang’’ ucapku datar, dia hanya bisa memandangku dengan heran, matanya
tidak menunjukan ekspresi yang aku temukan saat ia melihat ponselnya.
Kini,
saat di depannya aku tidak bisa apa-apa. Bahkan untuk sekedar jujur dengan diri
sendiri, jujur dengan perasaan sendiri. dan pada akhirnya cinta itu pun akan
tetap diam. Entah kapan akan bersuara.
Aku
membalikan badan, untuk segera meninggalkanya. Biarkan saja perasaan ini
terperangkap. Entah apa yang aku takutkan, melihat matanya sudah menjawab bahwa
penolakan yang akan aku dapat. Bertahun-tahun harusnya aku sadar, menunggunya
secara elegan tidak akan merubah apapun, dia akan tetap di sana bersama
dunianya, tempat di mana tidak akan pernah aku singgahi. Aku hanya wanita biasa,
yang sedang mencintaimu secara kekanak-kanakan, aku tidak pernah mengerti
bagaimana mencintaimu dengan dewasa dan elegan. Aku biarkan ini diam,
menggantung di udara dan entah kapan aku akan memungutnya.
‘’Win?’’
Dia
memanggil, dan aku juga merasa ada sesuatu yang menahan. Rasanya suhu tubuh
kembali memanas. Tuhan! Dia menahanku.
‘’Ya?’’
‘’Ngg…
anu’’
‘’Aku
mau balik. Makasih udah mau datang, aku udah lega sekarang. Kamu jangan
nahan-nahan’’
Aku
merasakan dia sedang memegang ujung sweaterku, aku merasa ditahan untuk pergi.
Rasanya pertahanan diri akan goyah. Aku ingin berbalik dan menatap wajahnya.
Dan itu aku lakukan.
‘’Kamu
jangan nahan aku per….’’
‘’Itu
sweatermu nyangkut di paku kursi’’
Jengggggg…jengggg!!!
Muka seperti di siram rebusan cuka. Rasanya bingung mau ketawa atau nangis. Aku
kira dia memegang sweaterku untuk menahan pergi. Ternyata paku sialan itu yang tidak rela aku beranjak kemana-kemana. Seperti
hubungan ini, yang tidak akan beranjak bahkan 1 centipun.
‘’Hahahaa’’
aku hanya bisa ketawa. Dan diapun membuka mulutnya untuk tertawa juga.
Kenapa
semuanya seperti menertawakan, bahkan paku yang tidak punya kehidupan pun,
sanggup membuat amor dan humor secara gratis. Dan saat itupula aku sadar ‘’Saat aku tidak bisa memiliki sesorang untuk
berbagi kesedihan, mungkin saja aku akan mendapat seseorang untuk berbagi tawa, dengan
seseorang yang membuat kesedihan itu sendiri’’.
To Be Continue~