Rabu, 30 Desember 2015

Coffee Packer #Jogjakarta

Lupakan sejenak kemacetan dan hiruk piruk kota Jogja. Ada banyak hal yang bisa kamu nikmati dan cintai di kota budaya ini. Salah satunya adalah wisata alam yang tenang dan menyejukan, tapi kalau di pantai dan matahari pas di tengah ubun-ubun ya panas sih he..he. Kali ini mau share ekspansi cangkir kesayangan selama di Jogja. Meski belum semua wisata Alam di kunjungi tapi gapapa lah ini sebagian saja dan tentunya tempat-tempat ini akan selalu di kenang.

Pantai Gunung Kidul
















Yang ini beda cangkir~




Kulon Progo








Bonus (di kos saya) haha



Mungkin foto-foto ini yang bakal jadi kenangan tersendiri bagi saya sebagai anak perantauan. Di mana Jogja pernah menyajikan hal-hal indah.
Daaaaan! Masih banyak lagi lokasi-lokasi keren di Jogja dan tempat lainnya yang bakal disinggahi coffee packer!!!

Senin, 23 November 2015

MAGIC MINUTE Chapter III ''S.H.M.I.L.Y''

Chapter III
S.H.M.I.L.Y



‘’Asik deh yang mau wisuda’’
‘’Tapi belum move on juga tuh’’
‘’Taik! Bertahan sampe 7 tahun lebih, stuck di orang yang sama, gak variatif banget hidupmu haha’’
‘’Bisa diem gak kalian?’’

Itulah pernyataan membabi buta yang terkesan menghina dan terkadang cenderung nampar. Kita berempat sedang duduk santai di angkringan dekat kampus negeri. Tempat salah satu temanku menempuh kuliah, dan sialnya dia sudah wisuda duluan. Mereka merupakan sohib terlama yang sudah menemani  dalam suka dan kebanyakan duka selama hampir  11 tahun, sejak kita masih ingusan  pakai seragam putih biru.

Ucapan mereka seperti menari-nari di depan wajah yang mampu menampar dalam sudut kenangan kelam 2 tahun lalu. Saat aku percaya diri untuk memberikan lukisan wajahnya sebagai ungkapan perasaan, saat pertemuan antah berantah yang membuatku bimbang ingin menangis atau tertawa dan saat semua perasaan tidak pernah terbalas. Aku mengingat pesan terakhir yang aku kirimkan padanya, yang masih tertata rapi di ponsel usangku itu.

‘’He?’’
‘’Iya’’
‘’Cuma mau ngucapin selamat hari kemerdekaan RI yang ke-70’’
‘’-_- bisa nggak kasih selamat yang lain, kayak dapat hadiah misal’’
‘’Yaudah, selamat kamu dapat hadiah’’
‘’Mana hadiahnya?’’
‘’Hadiahnya, coba deh kamu keluar rumah terus liat langit. Di situ ada beberapa bintang, kamu boleh ambil satu’’

Sudah berjam-jam pesan itu tidak terbalas, mungkin dia sudah langganan kehabisan pulsa atau memang dia tidak minat untuk membalas karena tidak ada hal penting lagi untuk dibicarakan meski sekedar becandaan seperti biasanya. Lalu aku mengirim pesan lagi.

‘’Kalo aku cinta sama kamu gimana?’’ tanganku gemetar untuk mengirim pesan hina itu dengan mengklik tombol keramat ‘’send’’. Jantung berkontraksi, sekaligus membodohi diri sendiri. Beberapa detik kemudian aku menyunggingkan senyuman geli ‘’message failed’’. Bitch! Sudah kuduga pulsa habis haha.

Pada akhirnya pesan menggelikan itu dibiarkan olehnya, mungkin dia muak. Sampai 2 tahun berjalan pesan itupun tidak pernah ada balasan meski satu aksara. Aku dan dia terpisah tanpa selamat tinggal atau basa-basi romansa seperti orang-orang yang menjalin hubungan, karena memang aku dan dia tidak pernah ada ikatan. Dia sadar aku bukanlah pilihan terbaiknya dan aku juga menyadari bahwa memang menyakitkan saat perasaan yang meluap tidak pernah terbalas meski diketahui bahkan cenderung terabaikan. Lali, akupun memilih untuk menghilang tanpa ingin tahu lagi kabar manusia sinting itu.

Pertemuan bersama tiga temanku cukup mengasyikan, kami berbincang banyak tentang cerita masing-masing pihak yang cukup membuat kontraksi perut meningkat dengan tambahan hormon dophamin yang meluap. Namun saat itu pikiran entah menghilang kemana, ada seseorang di ujung sana yang sedang memungutnya. Aku memutuskan untuk pulang lebih dulu, sekitar pukul 22.00 Waktu Indonesa Baper, aku mampir ke salah satu mini market yang jaraknya tidak terlalu jauh dari rumahku. Tempat di mana  aku dan dia pernah berdiri di lantai yang sama dalam satu atap. Aku membeli Root Beer lalu duduk di salah satu bangku, menikmati malam yang semakin memanggil kenangan di masa dulu. Tentang dua orang autis sedang berdiri saling bertukar gulungan keramat. Aku tersenyum memikirkan kekonyolan itu, lalu tiba-tiba dada seperti tersengat sesuatu bermuatan listrik yang mengakibatkan perut mual, ternyata ingatan kembali melintas batas kesadaran kepada masa saat aku ingin mengungkapkan perasaan, yang berujung pada hal memalukan. Matakupun berkaca-kaca, entah kenapa mual semakin terasa saat pikiran kembali sadar bahwa ia yang sepertinya masih di bumi, lupa akan hal-hal biasa yang sudah terjadi antara kami berdua. Aku dan dia menginjak tanah yang sama namun saling lupa untuk bertukar kabar ataupun saling sapa dalam pesan.

Aku membuka sosial media dan menstalking akunnya, bersih dan terawat. Sepertinya dia sangat menyayangi akunnya itu, setiap hari disapu dan dipel dengan pengharum beranda, hmmm. Ketik aku melihat satu foto dengan jumlah 28 like aku hanya bisa diam sambil meneguk root beer dengan ganas, karbon-karbon yang terkandung dalam minuman itu semakin memanaskan suhu tubuh. Lalu aku memilih untuk pulang, dan masih tetap terdiam sepanjang perjalanan pulang.

Kadang pilihan terbaik saat sesak tidak bisa diluapkan hanyalah diam. Berbaring di kasur sambil memandang palet langit atap dengan kesunyian tanpa gema di sudut-sudut ruang. Aku beranjak dari kasur dan menemukan Bapak sedang asyik nonton tivi dangdut kesayangannya. Aku duduk disebelahnya. Terdiam. Cukup lama. Bapak juga diam sambil sesekali tertawa karena banyak adegan konyol dari aktor ga lucu itu.

‘’Pak?’’ sahutku dengan sedikit nada kelu, ada sesuatu yang nyangkut di tenggorokan.
‘’Kok baru pulang, ngapain aja, pergi sama siapa aja kamu?’’ Cecer bapak yang udah menjadi pertanyaan rutinitas. Aku hanya diam. Bapak masih sibuk dengerin banyolan artis-artis gak lucu itu.
‘’Pak’’ ucapku lirih, ngilu di sekitar tenggorokan bereklifase menuju ke sela-sela muka. Rasanya masih sama, dari dulu bawang merah masih terasa pedih di mata.
‘’Pak..’’ ada jeda ‘’kok gak ada yang cinta sama wiwin ya?’’ ucapku sedikit sesenggukan, entah sadar atau tidak itulah pernyataan argumentatif mengilukan yang berhasil keluar dari persembunyian, seolah-olah itu benar dan tidak lagi ingin dibungkam. Rasanya lega, mengetahui realita, bahwa dia di ujung sana, sama sekali tidak pernah cinta, meski sedikit, sedikit saja.
‘’Seseorang gak bisa memilih kepada siapa ia harus jatuh cinta. Kamu juga tidak harus memaksa sesuatu yang gak bisa kamu kendalikan’’ itulah fatwa bapak yang begitu mujarab, dan saat itu pula aku sadar, kesedihan karena jatuh cinta sendirian itu sia-sia. Dan sialnya aku menikmati kesia-siaan itu.

Hari ini tiba juga. Aku duduk di kursi dengan hidangan kue di tangan yang enggan aku santap, meski harumnya memanggil-manggil. Aku mengamati sejenak, ada ruang keikhlasan yang berhasil aku tembus untuk menempatkan dia dan wanitanya bersanding di pelaminan. Aku sadar itulah takdir yang Tuhan kendalikan. Bahwa, aku bukanlah pilihan utama. Bahkan, untuk sekedar alternatif pun hanya metafora. Aku bukanlah apa-apa. Aku dan dia hanyalah konsep gagal yang Tuhan selundupkan untuk sekedar mencicipi kenangan.

‘’Makasih win, udah mau datang’’
‘’Kamu juga harus dateng saat wisudaku nanti ya haha’’

Tanganku dan dia bersalaman, tidak cukup lama. ‘’Dan inilah puncak mencintai seseorang, saat kamu mampu merelakan dia menikah dengan wanita lain yang lebih baik dari kamu’’. Wanita itu memiliki segalanya yang tidak bisa aku berikan ‘’Cinta yang nyata’’ karena selama ini aku sadar, aku hanya pecundang yang mencintainya hanya sebatas narasi platonik sampah, tanpa mampu terucap. Wanita itu yang pantas! Meski aku juga pantas, tapi bagi dia tidak.

Aku duduk di sebelah salah satu temanku yang aku ajak ke pernikahannya, teman priaku yang menemaniku selama di Jogja. Kita seperti dua orang kaku yang duduk dengan begonya melihat dua pasang bahagia. Dia dengan lahap memakan kue coklat yang bagiku tidak enak. Aku beberapakali gelesotan di kursi, ada sesuatu yang.. ah!

‘’He!’’ Teriaku. Beberapa orang melirik heran, temanku mengamini.
Dia yang sedang duduk bersama wanitanya. Memandangku juga. Sedikit heran mungkin, melihat wanita sinting teriak di kerumunan. Aku abaikan mereka, seolah mereka mendoan yang mengambang di penggorengan.

‘’Dengan segenap kemunafikan, aku bahagia melihat kamu menikah sekarang. Meski bukan aku yang berdiri di sana’’ aku berkata-kata tanpa malu. Semua orang memandang dengan geli, sebagian takjub. Temanku masih duduk santai, sudah terbiasa dengan kesintinganku.
‘’Kamu tahu ini mas?’’ aku mengambil gelas berisi es teh, lalu kumasukan gula. Dan kuaduk dengan ganas. Kubiarkan gula itu larut. Dan kutumpahkan ke lantai.
‘’Ini lukaku mas!’’ aku meletakan gelas kosong itu ke salah satu meja yang berada di dekatku dan kutarik tangan temanku yang entah bagaimana dari tadi dia masih asik makan kue cokelat tanpa henti.

Dan pada akhirnya aku berhasil mempermalukan diri sendiri dipernikahan seseorang yang.. entah sulit sekali meneruskan kalimat biadab itu. Dulu, aku mencintaimu secara kekanak-kanakan tapi kali ini aku hanya bisa mencintaimu secara ugal-ugalan. Aku tidak pernah mencintaimu secara pantas. 

Aku terduduk di pinggir jalan. Enggak nangis, meski ingin. Temenku berdiri di sebelahku, masih melahap kue cokelatnya. Brengsek sekali orang ini!

Dia tiba-tiba ada. Dibelakangku. Baru kali ini aku menjadi pihak yang dikejar. Entah dalam scene ini aku harus bahagia atau menangis.

‘’Aku mau mengembalikan ini’’ dia menyerahkan gulungan putih, yang aku tahu ada lukisan wajahnya yang pernah aku kasih dulu, yang katanya di pajang di kamarnya.
Aku terdiam.
‘’Ini’’ dia menyodorkan gulungan keramat itu ke arahku. Dan aku menerimanya.
‘’Kamu bisa miliki ini, enggak harus aku’’
Aku tersenyum entah kenapa. Senyum ikhlas atau senyum palsu yang sewajarnya. Entahlah.. senyum aja pokoknya. Gini nih senyumnya. Lihat ga?
Aku membuka gulungan keramat itu dan menunjukan sebuah tulisan yang terukir kecil di ujung kanan.
‘’S.H.M.I.LY’’
‘’Apa artinya?’’
‘’Udah gak perlu sekarang’’

Dari jauh aku melihat wanitanya berlari ke arah kami. Aku deg-degan. Dan benar saja saat mendekat, dia sedang membawa sebotol air mineral ukuran 1 liter. Aku gak lagi haus waktu itu. Tapi.. sudah bisa ketebak kan apa yang bakal terjadi?

‘’Tadi kamu lari-lari mas, jadi aku bawakan minum. Aku gak mau kamu haus’’

Taik! Ini adegan serius kenapa dibecandain.

Dan Byuuuuurrrrrrr! Ada air entah darimana membasahi mukaku. Bukan air dari botol wanita itu. Apalagi air dari mataku… Hmm. Aku membuka mata dan melihat beberapa teman sedang berdiri di kasurku seolah-olah sedang merubungi mayat.

‘’Happy born day Jomblo formalin!’’

Bangke! Sialan kalian semua. Aku melihat tanggal yang menempel di tembok kamar, tanggal 28 awal tahun. Saat itu pula aku sadar. Aku masih duduk di semester 4.


Nantikan chapter 4 yak hihi. Bye!!!


TO BE CONTINUE

Kamis, 19 November 2015

DALIL EKSTRIMIS BAPER


Pict by Gec~

Aku tidak harus cantik, tinggi dan dewasa seperti wanita-wanita yang ada di dekatmu sekarang. Aku tidak harus seksi, putih dan bermata sipit seperti wanita-wanita yang kamu idolakan. Aku telah cantik dengan segala yang aku miliki, atas indikatorku sendiri. Aku sudah cantik dengan segala potensi dan kecerdasan atas diriku yang tidak dimiliki oleh wanita lain di belahan bumi manapun. Akulah penguasa bagi diriku dan segala yang ada atas tubuhku.

Asal kamu tahu, aku berhak mencintai apa yang aku anggap layak. Kamu tahu? Segala rasa brengsek dan ketololan ini tidak aku biarkan tunduk dengan gravitasi. Kamu tidak berhak menyakitiku atas dalil apapun bahwa aku yang dhaif mencintaimu lebih. Kamu tidak punya otoritas sebagai penyebab atas segala derita dan kesepian yang merenggut waktu berhagaku untuk sekedar memikirkan aspek-aspek konyol karena gagal bertemu.

Aku harus bersuara, jika suatu nanti bilang "aku mencintaimu" anggap saja kamu punya derajat tinggi karena berhasil dicintai oleh aku. Kamu harus beruntung dan berhak bahagia atas perasaan biadab ini.




Inilah aku, yang mencintaimu dengan pandai. Mencintaimu atas hakku sebagai manusia waras. Mencintaimu atas pikiran dan kehendakku sendiri. Ini bukan cinta yang ekstrimis ataupun radikal kaum kiri yang melahirkan perasaan subversif. Ini cinta dengan dasar logika atas teori yang aku rangkai sendiri. Bukan juga cinta hasil saduran dari pemikiran kaum murung, Socrates dan Faocault. Atau cinta nihilis dari Nietzche yang agnostik. Ini aku yang belum kamu tahu, aku begitu.

Yogyakarta. Ditulis oleh Wiwin: Ekstrimis baper. Suka Indomie. 
Eh jangan lupa bahagia.

Selasa, 18 Agustus 2015

MAGIC MINUTE Chapter II ''Saat Cinta Tak Harus Diam''

Chapter II
‘’Saat Cinta Tak Harus Diam’’


‘’My Pain is Knowing I Can’t Have You’’ lirik lagu dari He is We yang paling bikin kadar kortisol meningkat lalu lari kesela-sela dada. Aku menyeduh kopi mocca yang sudah hampir dingin, waktu yang melarutkan panas kopi itu, karena aku tidak cepat-cepat untuk meminumnya. Suasana malam ini begitu aku nikmati kala sendiri. Duduk di teras rumah dengan gitar yang satu senarnya sudah putus dan suara yang dihasilkan pun tidak karuan. Bulan juga telihat akrab dengan bintang-bintang. Mungkin mereka sedang menjalin hubungan diam-diam. Karena mereka tidak suka mengumbar. Aku berimaji, kita berada di bulan dan sedang bertengkar karena sulit sekali menghitung bintang dengan counting yang benar. Lalu bintangpun tertawa, melihat dua makhluk autis sedang bertengkar. Aku juga tidak mau kamu seperti bulan yang mencintai banyak bintang. Semoga kamu hanya bulan, yang mencintai malam saja.
Sudah lama sekali dia tidak mengirim aksara, atau membuat banyolan yang membuatku senyum gila. Kadang aku rindu, dan cuma bisa menunggu bahwa rindu itu tidak hanya sebelah pihak. Aku berkali-kali cek handphone untuk memastikan bahwa bukan operator sialan yang rutin mengirim pesan. Bahkan saking kesalnya aku sampai browsing ‘’bagaimana cara memblokir nomor operator’’. Aku tiduran di kasur yang sudah tidak empuk lagi. Rindu itu menjelma seperti sarang laba-laba yang menggantung di beranda, terperangkap di jari-jari yang sudah mengetik kalimat rindu, namun susah untuk memencet tombol ‘’send’’.
Aku berfikir tentang dia di ujung batas sana sedang tertawa terbahak. Saling bertukar aksara dengan seseorang yang sudah menemaninya lama. Seseorang yang selalu ada dalam pikirannya. Bahkan untuk sekilas, aku tidak pernah hadir dalam benaknya. Mungkin saja aku hanya sebatas bintang jatuh, hadir sejenak lalu mengjilang tanpa bekas. Tanpa berfikir lama aku memungut ponsel yang tergeletak di meja, memencet satu nomor dan menelponnya.
Dering pertama.. kedua…ketiga…belum ada jawaban dan dering berikutnya…sama belum ada jawaban juga. Dan dering terakhir dari ujung sana, suara yang sangat aku kenal menyapa.
‘’Kalo aku cinta sama kamu gimana?’’ ucapku datar
‘’Apa?’’
‘’Ah! Ternyata gampang juga ngungkapin ya, yaudah deh aku tutup telponnya. Beda operator mahal nyet! Haha’’
‘’Anjir! Gak jelas banget sih orientasimu nelpon malem-malem’’
‘’Itu cuma lagi latihan ngungkapin perasaan, ternyata gak sesulit soal ujian matematika’’
Krek!!! Aku menutup telepon dan langsung tertawa terbahak. Mungkin sohib priaku yang malang itu sedang tertawa geli juga. Kasihan hidupnya sudah sering digangguin dan direpotin. Setelah terapis tawa untuk meningkatkan hormon endorphin, aku kembali rebahan di kasur yang masih belum empuk juga. Aku mulai terlelap dan saat detik menuju dunia matrix, tiba-tiba ada niatan untuk tidak membiarkan ini semua diam terlalu lama. Mungkin benar katanya, sudah waktunya aku menulis kisahku sendiri dan mencoba jujur kepada diri sendiri. Tentang apa yang aku rasakan dan apa yang aku inginkan.
‘’He kamu ada waktu luang besok? Bisa ketemu di taman kota sepulang kamu kerja? Jam berapapun aku akan nunggu’’ tombol send akhirnya aku sentuh juga, dan saat itu juga konstraksi jantung bergerak cepat hingga lemas rasanya. Aku tidak jadi tidur, mata kembali terbuka lebar untuk menunggu balasan pesan. Semoga ada.
Sudah pukul 02.45 dini hari dan masih belum ada balasan juga. Sudah 30 menit menunggu sampai akhirnya ada satu pesan muncul di layar.
‘’Anda mendapat promo iRing GRATIS dari Gorgom Band- Kupungut Cintamu Dengan Alhamdulillah. Aktifkan promo ini dengan balas YA’’
Bangkeeeee!!! Saking kesalnya aku ingin segera terlelap, rasanya lelah, juga insecure. Mungkin setelah baca pesan itu dia berfikir, kenapa wanita ini gila sekali ngirim pesan jam segini. Ah ketahuan deh, kalo lagi rindu berat huhu.
Dua hari berlalu, tiga hari, empat hari dan belum ada balasan juga. Hingga akhirnya satu minggu sudah aku lalui dengan penantian  balasan pesan yang tak kunjung datang. Satu minggu pula aku jarang mandi, tidak shampoan dan lupa bagaimana cara tidur dengan layak, yang ada dalam pikiran hanya tebakan-tebakan tentang alasannya tidak membalas pesan. Apa dia tidak punya pulsa? Lupa caranya mengetik pesan? Tombol sendnya rusak? Jarinya tertukar dengan jari kaki? atau bisa saja handphonenya sedang digadaikan. Ah benar-benar kacau!
Satu minggu juga aku tidak kembali ke kota pelajar untuk mengikuti perkuliahan hanya untuk menunggu satu balasan pesan yang tidak ada kepastian. Serasa seperti jadi planet Pluto, diabaikan dan tidak diakui. Tidak pernah diakui sebagai wanita, dari dulu seperti itu selalu menganggapku sebagai ‘’gadis kecil yang tidak berarti apa-apa’’
Cling!...’’Maaf, baru bisa bales. Kirain kamu udah balik kuliah. Sekarang masih di rumah?’’
DEGG! Pupil mata melebar beberapa centi, melihat aksara-aksara itu bergantungan rapi di layar ponsel.
‘’Iya gapapa kok. Iya masih :D’’
‘’Sore ini bisa kok, emang mau ngomong apa? Atau mau ngopi film anime?’’
‘’Penting deh pokoknya, ya nanti aku sekalian bawa flash disk’’ aku pencet tombol ‘’send’’ sebelum kalimat itu terverifikasi dengan benar, dan akhirnya ngirim lagi ‘’Eh gak ngopi film deng, cuma mau ngomong doang haha’’ aku ngetik kalimat itu seolah-olah aku ceria, padahal gak begitu-begitu amat.
‘’Yaudah nanti sore aku hubungin lagi :D’’
‘’Y’’
Tidak apa-apa kan? Cuma jawab gitu, sok jutek dikit lah, meski aslinya udah loncat-loncat dan ekor sudah mau keluar saking girangnya. Yikhaaaaaaaaaaaaaa!
#...........................#
Dia sudah berdiri di ujung sana. Taman yang sudah kujanjikan untuk pertemuan antah berantah ini. Dari jarak sekitar 20 meter aku mengamatinya yang sedang duduk disalah satu bangku berwarna putih, lengan bangku itu sudah lecet dibeberapa tempat. Terkikis oleh sinar matahari atau hujan, atau entahlah. Mimiknya begitu bahagia ketika aku amati lebih dalam, itu seperti ekspresiku ketika mendapat pesan darinya. Aku tidak asing dengan ekspresi macam itu karena aku selalu merasakannya saat aku memikirkan hal-hal kecil tentangnya yang meski biasa saja. Aku berhenti di beberapa jarak yang sepertinya ia belum menyadarinya aku ada. Aku melihatnya. Melihat matanya. Tatapan bahagianya. Aku yakin, itu dia. Dia yang sedang bahagia dalam dunia virtualnya. Dia yang… sudah sadar aku ada.
‘’Eh hei, kirain mau ngerjain doang ngajak ke sini’’ ucapnya rileks dengan sedikit senyuman. Tangan kanannya yang tadi memegang ponsel langsung ia masukkan ke kantong, dan kebahagiannya pun lenyap terkubur dalam kantong itu.
Aku senyum seperti biasa. Ada keheningan dalam beberapa saat. Lalu semuanya musnah oleh suara angin yang melintas dan hanya menimbulkan gaduh olehku saja. Dadaku kembali berkontraksi cepat, semua ucapan seolah terperangkap dalam tenggorokan dan entah kapan akan aku tangkap.
Suhu panas tubuh menyebar dalam sekujur dada lalu menjalar ke wajah. Dan entah kenapa aku hanya bisa diam, di tempat itu bersama seseorang yang sedang memandang orang lain di jauh sana. Orang lain yang mengendap dengan indah di ponselnya.
‘’Kenapa?’’
Dia hanya bisa bertanya, dan aku hanya bisa bergeleng kepala dengan menutup wajah yang terus-menerus memanas. Entah kenapa aku bisa menangis di depannya. Semua kata-kata hilang berserakan oleh menit-menit yang semakin berjalan. ‘’Apa yang kamu lakukan sudah aku salah artikan, ternyata kebaikanmu cuma normatif belaka’’ kata-kata itu terperangkap di dinding tenggorokan. Aku hanya bisa diam, berdiri di depannya menjadi pihak yang lemah.
‘’Kamu nggak lagi ada masalah kan?’’
Dia terus-menerus melontarkan kalimat tanya. Tubuhnya mungkin sudah diprogram menjadi makhluk pengumbar kalimat tanya.
‘’Makasih udah datang’’ ucapku datar, dia hanya bisa memandangku dengan heran, matanya tidak menunjukan ekspresi yang aku temukan saat ia melihat ponselnya.
Kini, saat di depannya aku tidak bisa apa-apa. Bahkan untuk sekedar jujur dengan diri sendiri, jujur dengan perasaan sendiri. dan pada akhirnya cinta itu pun akan tetap diam. Entah kapan akan bersuara.
Aku membalikan badan, untuk segera meninggalkanya. Biarkan saja perasaan ini terperangkap. Entah apa yang aku takutkan, melihat matanya sudah menjawab bahwa penolakan yang akan aku dapat. Bertahun-tahun harusnya aku sadar, menunggunya secara elegan tidak akan merubah apapun, dia akan tetap di sana bersama dunianya, tempat di mana tidak akan pernah aku singgahi. Aku hanya wanita biasa, yang sedang mencintaimu secara kekanak-kanakan, aku tidak pernah mengerti bagaimana mencintaimu dengan dewasa dan elegan. Aku biarkan ini diam, menggantung di udara dan entah kapan aku akan memungutnya.
‘’Win?’’
Dia memanggil, dan aku juga merasa ada sesuatu yang menahan. Rasanya suhu tubuh kembali memanas. Tuhan! Dia menahanku.
‘’Ya?’’
‘’Ngg… anu’’
‘’Aku mau balik. Makasih udah mau datang, aku udah lega sekarang. Kamu jangan nahan-nahan’’
Aku merasakan dia sedang memegang ujung sweaterku, aku merasa ditahan untuk pergi. Rasanya pertahanan diri akan goyah. Aku ingin berbalik dan menatap wajahnya. Dan itu aku lakukan.
‘’Kamu jangan nahan aku per….’’
‘’Itu sweatermu nyangkut di paku kursi’’
Jengggggg…jengggg!!! Muka seperti di siram rebusan cuka. Rasanya bingung mau ketawa atau nangis. Aku kira dia memegang sweaterku untuk menahan pergi. Ternyata paku sialan itu yang  tidak rela aku beranjak kemana-kemana. Seperti hubungan ini, yang tidak akan beranjak bahkan 1 centipun.
‘’Hahahaa’’ aku hanya bisa ketawa. Dan diapun membuka mulutnya untuk tertawa juga.

Kenapa semuanya seperti menertawakan, bahkan paku yang tidak punya kehidupan pun, sanggup membuat amor dan humor secara gratis. Dan saat itupula aku sadar ‘’Saat aku tidak bisa memiliki sesorang untuk berbagi kesedihan, mungkin saja aku akan  mendapat seseorang untuk berbagi tawa, dengan seseorang yang membuat kesedihan itu sendiri’’.

To Be Continue~

MAGIC MINUTE Chapter I ''Menit di Ujung Senja''

Sebuah Cerpen 

MAGIC MINUTE



Chapter I
‘’Menit di Ujung Senja’’


Aku menendang-nendang kakiku karena gugup. Feromon mengalir deras dalam neurotransmitter yang melesat cepat bagai meteor yang berhasil menembus ozon. Degup jantung tak hentinya memanggil suhu panas dalam tubuh yang semakin membuatku tak bisa berfikir apapun kecuali, menunggunya dengan gaya santai. Gugup itu terhenti seketika, saat mata bulat itu muncul dan aku hanya menampilkan muka datar untuk menyambutnya.
‘’Hai!’’ Ucapnya dengan senyuman sembari melambaikan tangan kirinya, aku juga melihat tangan kanannya memegang plastik yang berisi jajanan.
Kini, di menit-menit menjelang senja aku dan dia berdiri di sebuah mini market. Perasaanku sudah mulai stabil ketika tangan kita berjabat untuk pembukaan salam. Dia terlalu banyak senyum, dan sayangnya itu indah. Aku juga menampilkan beberapa senyuman yang entah itu indah atau menggelikan baginya, aku tidak ingin memikirkan. Dari dulu, dia memang sudah imut sejak dalam pikiran.
‘’Kamu  gak beli jajan?’’
Aku hanya geleng kepala, sebagai tanda tidak ingin membeli apapun atau hanya sekedar untuk melemaskan otot-otot leher.
‘’Eh nih…’’ dengan santainya dia memberikan sesuatu berwarna hijau, bukan daun, apalagi duit 20 ribuan, dan yang aku tahu itu nori ‘’rumput laut’’ tapi seperti biasa, saking rendah hatinya aku berpura-pura tidak tahu.
‘’Itu apa?’’
‘’Udah makan aja. Langsung dimakan kalo enak, kalo gak doyan ya buang aja’’
‘’Oooh’’ aku menerima nori itu dan segera memasukan ke dalam tas.
Lalu, dia memberikan kantong plastik berwarna hitam yang berisi DVD. Dia memang sudah berjanji untuk memberiku film yang menurutnya harus kutonton karena banyak pelajaran dan kata-kata indah, dengan syarat aku harus serius untuk menontonnya. Setelah itu aku mengeluarkan gulungan kertas berwarna putih. Ragu saat itu, antara ingin memberikan atau harus aku simpan selamanya. Dan saat melihat matanya untuk beberapa kali akhirnya aku yakin, itu memang harus diberikan.
‘’Eh ini’’
‘’Apa nih?’’
‘’Eh itu…’’ beberapa detik aku kehilangan kontrol karena bingung untuk menjawab apa ‘’kan kamu ngasih DVD jadi aku ngasih ini, biar impas’’
Dari pertemuan ini memang tidak ada kata-kata indah atau adegan romantis seperti di FTV, hanya obrolan ini itu yang biasa saja. Dia mungkin dengan senang hati menerimanya, atau kalau boleh menebak, mungkin dia juga penasaran itu isinya apa, yang jelas itu bukan nori ‘’rumput laut’’. Ya, meski sama-sama digulung. Gelagatnya menunjukan dia akan membuka gulungan pemberianku itu. Eh, jangaaaan!!! Biarkan itu menjadi rahasia alam.
‘’Eh jangan dibuka di sini!’’
‘’Lah kenapa?’’
‘’Yaudah lah gajadi ngasih’’ dengan rada gugup aku hendak mengambil lagi gulungan ‘’keramat’’ itu.
‘’Yaudah… yaudah oke’’
Aku yakin dia penasaran apa isinya, tapi dia cukup gagah untuk menahan membuka di tempat. Gulungan keramat itu ia masukan ke kantong jaketnya yang berwarna kuning tua yang cenderung ke-orange-orange-an. Menit-menit pertama kita isi dengan obrolan ini itu yang tidak penting. Lalu ada sedikit penting, ketika ia membahas tentang masa kuliahnya dulu, menyinggung tentang fisika material. Sebagai mantan siswa jurusan IPA saat SMA, seenggaknya aku sedikit ngerti apa yang dia omongin. Ya, meski gak ngerti-ngerti banget. Tapi ngerti lah... dikit.
Aku tidak bercerita banyak, hanya membahas sedikit masa lalu tentang kegagalan. Dan dia mengerti ‘’Nggak apa-apa yang penting kamu udah dapat apa yang kamu butuhkan’’  Itulah kata-katanya yang lebih mudah dicerna dibanding obrolannya tentang fisika dan magnet-magnet. Aku hanya tersenyum, dia juga banyak senyum. Entah karena dia memang ramah orangnya atau memang sudah sejak dalam pikiran dia mudah senyum. ‘’Kamu jangan terlalu banyak senyum, nanti banyak yang suka. Aku cemburu soalnya’’ Ucapku dalam hati dan untungnya dia tidak mendengar. Kita akhirnya berpisah ketika senja sudah tidak menampakan apa-apa, hanya sepuluh menit waktu berjalan. Tapi, terasa sangat lama dan aku tidak ingin beranjak. Menit berharga yang merubah segalanya.
Darah mengalir sangat cepat setelah pertemuan singkat itu, sepanjang perjalan menuju rumah aku hanya senyum-senyum seperti orang gila yang susah kembali waras. Aku menyimpan ‘’nori’’ pemberiannya itu ke dalam lemari. Sampai kapanpun aku tidak akan berniat untuk memakannya, bahkan untuk sekedar memikirkannya.
‘’Gak nyangka itu gambar lukisan wajahku, aku kira gambar setan. Sempat hampir syok tadi. Haha keren, makasih banyak ya. Nanti mau aku pajang di kamar :D’’
Aku tersenyum-senyum geli ketika mendapat pesan darinya muncul di layar. Aku tidak bilang padanya kalau lukisan itu sudah dibuat sejak lama dan sebagai ungkapan perasaan. Dia pernah bilang ‘’Mengungkapkan perasaan tidak harus bicara. Boleh saja kamu memberikan sesuatu sebagai luapan perasaan. Tidak salah kalau wanita mengungkapkan, jadilah sekali-kali wanita yang berbeda. Buatlah kisahmu sendiri’’

Kita masih seperti biasa saling berkirim pesan dengan sedikit banyolan. Tak ada yang berubah. Dan untungnya dia tidak menyinggung sedikitpun tentang alasanku memberi lukisan itu ataupun curiga kalau-kalau aku ada perasaan, atau mungkin dia menutup  mata dan berpura-pura. Entahah, biarlah seperti ini, selalu seperti ini. Aku hanya ingin menikmati saat-saat ini. Dimana kamu ada, dan aku bisa merasakannya.

To Be Continue~

Kamis, 19 Februari 2015

PLATONIK DI NEGERI ATAS AWAN

SEBUAH CERPEN BERSAMBUNG 

''PLATONIK DI NEGERI ATAS AWAN''


Photo by Wiwin Winarni
At Telaga Warna (Dieng)



   ‘’Gong ta’’ Sapaku seramah mungkin, dengan aksen yang dibuat agaknya mirip dengan penduduk lokal Negara di atas awan ini. Aku duduk pelan sambil dengan gongtai menghirup oksigen yang sepertinya enggan untuk berkolaborasi membuatku nyaman di dataran tinggi. Cukup menyesakkan.

  ‘’Yes?’’ Ucap lelaki tua dengan kisaran umur 60 tahun dengan menggunakan chuba putih. Tubuhnya yang semakin membungkuk tidak menurunkan semangatnya untuk melayani para pelanggan yang ingin menikmati secangkir po cha. 5 menit kemudian, dengan senyuman yang khas ia membawakanku secangkir Po cha. Konon, ini termasuk teh paling nikmat yang wajib dicicipi kala berkunjung ke Negara ini. Pembuatannya juga tidak instan, bahkan untuk mendapat sari yang kental dan rasa yang prima, teh ini harus di rebus selama berjam-jam.

   ‘’Thank you’’ aku mulai meneguk dengan segala keganasan, seperti singa yang sudah berpuluhan abad menjadi vegetarian dan merindukan seenggok daging segar. Pertama teguk, aku mengerutkan kening ketika satu tegukan mulai menjalar keseluruh lidah. Rasanya aneh. Po cha ini terbuat dari teh yang dicampur dengan susu dan mentega dari susu yak betina. Namun, ketika mencoba menetralisir dengan hati-hati. Lidah ini mulai menerima dan bahkan ketagihan. Terhitung hanya dalam 10 menit aku sudah menghabiskan 3 cangkir Po Cha.

   Suasana kedai mungil ini cukup menyejukan, yang sesekali dingin mulai menusuk-nusuk tanpa peringatan. Aku melihat sekeliling, beberapa orang sedang berhilir-mudik melakukan kegiatan keseharian mereka. Banyak turis asing yang sangat antusias untuk berkuliner di tempat ini. Aku tertawa kecil ketika melihat bule yang aku menebak berasal dari Australia, menampakan muka merah dengan kerutan kening yang seperti sedang meneguk sebotol champagne dicampur saus tomat. Ia sedang menikmati Guthuk. Aku yakin ia pasti bukan vegetarian, aku rasa ia tepaksa memakannya. Karena pasangannya melototinya dengan tajam seperti berseru ‘’ makan gak, makan gak, makan gak, kalo gak jangan sentuh aku!’’

   Aku melengus kecut sambil tertawa ringan. Entah, apa yang membuatku kesal sekaligus bahagia dalam waktu bersamaan. Aku kembali meneguk Po cha, yang kini ditemani dengan Tsampa. Sungguh penyajian yang nikmat. Tiada duanya.

  Setelah kembung beraroma kekenyangan yang berlebihan aku beranjak pergi, dan tak lupa mengucapkan terima kasih atas segala kenikmatan minuman yang hanya bisa aku nikmati di sini. Semenjak menginjakan kaki di Lhasa, entah ada energi macam apa yang membuatku merasa kembali bergejolak atas rindu, tangis, terisak dan bahagia yang memunculkan dirinya sejekab lalu mencabik-cabik habis tanpa ampun. Dan membuatku ingin berteriak. Aku yakin ini bukan efek samping dari proses aklimatisasi bagi orang dataran rendah yang menjajakan kaki ke dataran tinggi, yang minim oksigen. Aku cukup kuat untuk tidak terserang acute mountain syndrome. Dan dengan berbekal beberapa Diamox aku terselamatkan dan tidak mati sia-sia karena kekurangan oksigen.

  Kini aku berada di Bus yang akan membawaku ke Shannan Region. Ada arah angin yang menyuarakan dirinya untuk membawaku ke sana. Wilayah itu merupakan pusat kebudayaan di Tibet. Delusiku mulai liar untuk berimajinasi banyak hal disana. Sudah 2 tahun aku menamakan diri sebagai single fighter of backpacker. Aku merelakan semuanya, aku melepaskan segalanya demi kesungguhan untuk bersatu padu dengan semesta. Tidak ada penyesalan apapun, karena inilah akhir dari segala keinginan yang merambat sekaligus pada kebutuhan. Aku percaya pada mimpi-mimpi, karena akupun punya kendali pada arah tujuan hidupku, dan aku tidak ingin terus menerus di setir oleh takdir yang hanya membuatku jatuh dan terjerembab. Dan dalam perjalanan menjelajah ini pun, aku sedang mencarimu.

   ‘’What a magic!’’ Aku berkata dengan nada syukur atas perjalanan panjang ini, yang akhirnya membawaku ke tempat yang out of the mind. Gila, ini seperti mimpi. Aku menginjakan kaki di Shannan. ‘’ Woaaaaaaaa!’’ Aku berteriak kencang, udara aku hirup dengan keikhlasan penuh takjub. Siapapun, makhluk asing di luar sana yang menganggap diriku butiran pasir. ‘’Look at me helooooo!’’ aku berteriak mendadahkan tangan ke Angkasa. ‘’This my Fuckin’ life’’. Aku tidak berharap banyak, bahwa Alien akan mendengar. Aku hanya ingin menyalurkan atom kebahagiaan, itu saja. Dan aku kembali loncat kegirangan seperti manusia sinting kelebihan endorfin.

   Revolusi hidup berjalan mengikuti arah angin dengan bimbingan takdir. Kini segalanya nyata kembali ketika aku mulai mempercayai akan mimpi-mimpi. Aku merealisasikan paru-paru yang dengan anggun menerima segala oksigen yang berhasil digaploknya. Segar, dan aku bisa merasakan esensinya. Aku mengeluarkan coolpix mini yang selalu ku bawa di ransel travelku. Lensa mataku jeli untuk memandang permadani Alam yang begitu Agung menyuarakan keindahannya. Kamera miniku overhead shot mengarah ke orang yang sedang menggendong anaknya yang masih berusia 3 tahun, mungkin itu kegiatan rutin hariannya. Mengasuh anak sekaligus menggembala lembu yak di padang rumput luas ini. Hasil jepretan cukup memuaskan. Dan aku juga tertarik untuk menjadikan lembu yak sebagai model paling imut. Penggembala itu menatapku, dan akupun menatapnya. Lalu aku tersenyum dan menghilang dari pandangannya untuk mencari objek baru. Atau lebih tepatnya menghindar dari dugaan kriminalitas karena aku sudah membidik secara sembarang. Tapi aku yakin, warga lokal ramah tamah.

   Aku kembali berjalan, mengarungi padang rumput hijau dengan gegap langkah kaki sendirian. Angin dataran tinggi cukup membuat kulitku tercabik, meski bukan dimusim dingin. Dan ini cukup menyiksa bagi spesies tropisisme sepertiku.

   ‘’Tashide’’ ucapku lembut dengan mencangkupkan kedua tangan dan meletakannya di bagian dada sambil menjulurkan lidah. Jangan menganggap aneh dulu, ini adalah sapaan tradisonal khas orang Tibet. Dan orang yang aku sapa juga melakukan  hal yang sama. Kami berbincang tentang kondisi alam di Shannan, ia termasuk orang yang hangat.  Namanya Pangyong, usianya baru menginjak 30-an, dan lumayan tampan. Ah kita hampir seumuran. Aku sama sekali tidak berniat untuk mengajaknya berkencan, bukan karena aku tidak mau. Tapi dia sudah beristri. Dan sebagai informasi saja, aku sedang menggendong anaknya yang berusia 2 tahun 8 bulan dan istrinya sedang duduk bersamaku. Mereka merupakan keluarga kecil yang bahagia, tinggal di pondok mungil yang hanya berukuran 4x5 meter. Keindahan alam menyempurnakan segala esensial keharmonisan mereka. Ah sepertinya aku iri, karena sudah menginjak kepala 3 aku masih belum juga berpasangan. Ketika lelahku surut, aku berpamitan kepada mereka. Dan kembali melanjutkan jajakan metafora nyata alam yang luar biasa. Pegunungan indah menjulang sejauh mata memandang. Benar-benar surga di atas awan. Wuhuuuu!

     Aku berdiam dalam perjalanan, diamku berkata. Ada yang aku rindukan, entah itu apa. Angin yang menabrak mukaku dengan sengit sepertinya memberikan integritas sebuah informasi bahwa perjalananku ini hanya sebagai ‘’Pursuit of happiness’’ semata. Kebahagiaan yang sepertinya hanya untukku, untuk aku dan aku. Semuanya seolah berputar dalam lepton kenangan  ketika aku dengannya berbincang dalam kedai kopi sederhana tentang ‘’Cagito Ergo Sum’’. Aku mengutuk diri sendiri, aku berhenti melangkahkan kaki. Lututku melemas, dan akhirnya aku terduduk di tengah padang rumput luas. ‘’Aku ingin kembali’’ ucapku gusar, awan mulai menghitam yang sudah berkompromi dengan semesta, seolah kesedihan bermanifestasi menjadi rintikan embun yang jatuh kedaratan menjadi butiran hujan.

   Hujan embun mulai asik bercanda dengan kesedihan, aku berlari mencari tempat teduh yang seenggaknya mau untuk aku singgahi. Dan sebuah bangunan antik yang menjulang dengan percaya diri, menyelamatkanku hari ini. Seenggaknya matiku karena kedinginan sudah tertunda.

  ‘’Damn it! Manusia sinting macam apa yang mau-maunya membangun galeri di tengah padang rumput’’ Aku tersenyum kecut, terkejut dengan singgahan yang menyelamatkanku dari kematian karena dingin. Cukup unik, galeri ini hanya ada satu pintu dengan 2 buah jendela yang menjualang dari kanan dan kiri. Arsitekturnya yang bergaya western cukup mengagetkan. Siapa yang membangun ini? Penduduk lokal yang kerasukan gaya film hollywood modern atau orang asing sinting yang frustasi karena tidak ada lahan lain untuk menyalurkan apresiasinya? Entahlah aku tidak mau ambil pusing. Dingin ini sudah cukup membuatku ingin mati. Aku memberanikan diri untuk masuk ke galeri. Pintu aku buka. Tapi sebelum menumbuhkan kepercaya diri untuk masuk kedalam dan menghilangkan pikiran buruk tentang kriminalitas seksual. Mataku cukup liar untuk membidik pada satu lukisan abstrak bergaya impresionisme, ada garis-garis kuat yang menampilkan warna-warna cerah. Kesan yang bagus untuk menarik pengunjung. Tunggu! Jangan-jangan ini tempat persembunyian Eugene Delacroix? Ah persetan! Ini sudah abad keberapa! Aku geram dengan persepsi konyolku. Lukisan itu menggantung dengan indah di dinding pintu. Dan sepertinya aku jatuh cinta. Dan kalau boleh di bawa pulang, aku tidak akan menolak.

   Kakiku sepertinya punya magnet sendiri. Tempat ini seperti pusat dari segalanya. Perjalanan ini seperti orbit yang akhirnya membawaku ke tempat aneh ini. Rasa itu semakin menguat ketika aku berada di dalam. Ada yang aku rindukan dan akhirnya berhasil aku temukan. Dan semakin aku mencoba untuk menyadari perasaan itu, justru menghilang dan aku semakin tidak ingin mengerti. Kakiku tersentak pada satu sisi, aku berdiri mematung di tengah galeri itu, yang semua dindingnya terdapat lukisan-lukisan yang aku rindukan. Dan ada yang paling aku cinta, lukisan kesunyian, berjejar pas di depan pandangan yang bersebelahan dengan lukisan grand canal di Venice, tentang dua orang yang berdansa menaiki gondola. Hanya satu orang yang berani mengadopsi imajinasi liar untuk membuat ini semua, aku yakin. Ah.. brengsek! Aku menangis, mematung dan masih tak paham dengan dialog ini semua. Tuhan! Takdir apa yang sedang Engkau permainkan.

    Yang aku rindukan selama 8 tahun, kini berdiri tegak di depan mata. Aku melepas kaca mata, yang justru membuat nyata kalau ini hanya ilusi belaka. Remang-remang aku melihat wajah murung itu, wajah yang selalu aku impikan, yang pernah menghilang.

   Ia mendekat, ada sesak di sekitar rongga. Aku mundur satu langkah, dan ia masih berjuang untuk menggapaiku. Dan tanpa hitungan waktu yang lama ia sudah berdiri di depanku dengan jarak yang dekat.. sangat dekat. Dan tanpa bertindak responsif, tubuhku merasakan kehangatan yang berasal dari tubuhnya, aku bisa mencium bau cat air dari bajunya. Bau yang selalu aku rindukan. Ia memelukku erat, dan akupun begitu. Dunia seolah menolak untuk berotasi. Kami hanya larut dalam kekosongan dalam dimensi ruang dan waktu, yang akhirnya melegakkan rinduku yang terpendam selama bertahun-tahun. ‘’Kini kamu ada, dan aku bisa melihatnya’’ batinku.

    ‘’Menghilang 8 tahun, dan sekarang kamu memelukku seperti orang sedang kelelahan yang nyari guling buat tidur pulas’’ Cercaku geram. Aku belum sanggup melihat wajah murungnya dengan khas senyuman satu baris di bibirnya.

    ‘’Melihatmu hari ini, semakin menguatkan kalau evolusi Darwin itu salah besar’’

     ‘’A..apa?’’

     ‘’Kamu sama sekali enggak berubah, kecuali pake kaca mata’’

     ‘’Holy shit! Kita nggak berpisah selama itu’’

     Kejutan besar, dan jebakan Batman kalau bertemu lagi dengan seseorang yang amat di rindukan, si seniman introvert lalu berharap ada kata rindu dan manja akan terucap, itu bullshit!. Menyaksikan kan? Bertahun-tahun tanpa pernah bertatap dan tanpa kabar. Dan ketika bertemu justru membahas tentang kebenaran Darwin. Oh my God! Kiss my ass, dude!

    Tidak ada yang berubah darinya. Dia tetap Ergam jora yang sangat khas dengan muka murung dan senyuman sebarisnya. Yang berubah hanya penampilan, ia sudah berani membiarkan jenggot dan kumisnya tumbuh. Tubuhnya bertambah putih dan segar, sangat terawat. Aku yakin, ini efek dataran tinggi, aku penasaran tentang ceritnya bisa sampai di Tibet dan bagaimana ia beradaptasi dengan wilayah yang minim oksigen.

   ‘’Sekarang, aku bisa melihatmu seperti dirimu yang sesungguhnya’’

   ‘’Me too, kamu berhasil. You do it well!’’ aku menatapnya sendu, ada aura lain di matanya, yang entah itu berkode apa.

   ‘’Sudah berapa Negara yang sudah kamu singgahi?’’

   ‘’Ah, masih sekitar Asia. Tujuan akhir di sini akan ke Induk Yarlung, Gunung Kailash’’

   ‘’Nice trip! Itu dipercaya sebagai pusat semesta’’

   ‘’Iya, seperti semesta yang sudah bersatu pada untuk berkonspirasi membantuku menemukanmu’’

   ‘’Haha, aku bukan maniak novel, tapi aku tahu itu kutipan dari The Alchemist’’

    ‘’Aku cuma menguji kecerdasanmu’’

     Ergam mengajakku berkeliling galerinya. Ia dengan percaya diri menunjukan hasil karya lukisnya dan sudah berhasil membuktikan impian-impiannya. Kami bercerita banyak, darinya aku tahu galeri ini hanya tempat yang di jadikan sebagai ruang rehat ketika ia bosen dengan rutin kesehariannya sebagai desainer grafis. Dan aku baru tahu kalau karya lukis maupun grafisnya di deviantart sangat terkenal, ya dia memang tipe manusia di belakang layar. Aku mengerti ia sepenuhnya. Kami 4 tahun menempuh bangku kuliah dalam kampus yang sama, dan selama itu juga mungkin hanya aku yang dijadikan teman kencannya. Wanita mana yang mau berkencan dengan manusia bermuka murung? Ya, kecuali aku.

     Kami duduk di ruangan yang penuh dengan lukisan-lukisan asbtrak. Jendela tepat di sebelah kami yang menghadirkan pemandangan indah dengan latar pegunungan dan awan yang bersibak dibanyak sisi. Dingin yang kutakuti sudah melenyap bagai abu, seperti rindu yang akhirnya berujung temu.

    Dan seperti biasa, ketika kami berdua bertatap dalam dialog, ada keheningan yang ikut serta. Bisu di antara kami seperti akan menghadirkan luka, entah itu apa…

    ‘’Aku sudah bahagia’’

    ‘’I see’’

    ‘’Aku sudah menikah, dan aku juga punya anak’’

    Pernyataan itu seperti gamparan yang menggaplokku berkali-kali dan berujung lara. Seperti besi yang dipanaskan lalu aku genggam, ada luka menganga dan aku basuh dengan cuka. Aku hanya diam tak bergeming, entah respon seperti apa yang bisa meyakinkan Ergam kalau aku juga ikut bahagia atas kebahagiaannya. Aku berpura biasa-biasa saja, aku sekuat tenaga untuk menggerakan bibir dan tersenyum ikhlas kepadanya.

‘’Ah ya, baguslah. Wanita malang mana yang mau menikahimu, Ergam?’’

‘’Penduduk lokal, dia sepertimu’’

‘’No! aku enggak seperti siapa-siapa!’’ Nadaku meninggi, ‘’Ah iya, sepertinya aku terlalu lama di sini. Aku harus melanjutkan tripku’’

‘’Are you okey?’’

‘’More than okay’’ (sebelum kamu mengatakan sudah menikah)

    Aku meninggalkan galeri tanpa melihat wajah Ergam lagi. Aku berlari, rasanya kaki sudah tidak menginjak tanah. Rasa lelah sudah tidak berarti apa-apa lagi ketika atom nuklir meledakan dirinya dan berhasil menghancurkanku dari dalam, tanpa ampun dan tersisa. Aku tidak lagi mengerang kesakitan, rasanya lelah… sangat lelah. Rindu yang tertuntaskan karena berujung pertemuan. Kini menjadi lara yang begitu menyesakan ketika tahu rindu itu menancap bukan pada tempatnya.

     12 tahun aku hanya melihatmu, Ergam. Tapi di sisimu, kamu melihat orang lain. Aku berlari, terus dan terus sampai akhirnya kakiku berhenti pada danau yang luas. Itulah muara perasaanku sesungguhnya, akhir perjalanan yang menyesakkan. Aku berteriak kencang. Hingga beberapa domba yang sedang menikmati keindahan air biru berkelebatan lari karena ketakutan, ada monster bersuara massif sedang mencabik-cabik gendang telinganya. Aku tidak ingin menjadi munafik dengan meluapkan segala lara pada semesta, aku seharusnya tidak bercerita pada danau maupun pegunungan. Karena mereka… tidak punya hati.

    Ingatanku, berkelebat pada kenangan erotis 8 tahun silam yang menenggelamkanku pada kerinduan berlipat ganda terhadap makhluk bernama, Ergam. Ketika setiap kali tidak bertatap. Pesta wisuda hanya dihabiskan oleh aku dan dia, di negeri atas awan. Segalanya indah. Ditambah ia berhasil menyandang Cum Claude yang secara de facto dia tidak pernah menikmati sesi perkuliahan dan seperti akan mati bosan mendengar dosen menerangkan segala hal yang tidak menarik baginya.

     Dieng, sebagai tempat perpisahan. Kami duduk berdua dalam ruang yang hanya ada aku dan dia, remang-remang lilin berkilau malu karena menjadi pihak ketiga. Dan dalam satu waktu, aku pertama kalinya merasakan ada sengatan listrik yang menyambarku dengan gentakan supermasif. Aliran listrik itu menyergapku langsung dan melumpuhkan nalar. Bayangkan, ketika kamu tidak ada sesi untuk mengucapkan kalimat selamat tinggal atau kata-kata manja, kamu melayang di atas awan. Lupakan alur manis jalannya cerita dalam film-film romantik, listrik itu berhasil membunuhmu, begitu dahsyat, dan pada akhirnya kamu hanya mampu terkulai lemas. Kamu sekarat dan akhirnya mati tergoda.

     Aku kembali ke dunia sadar, mencoba membunuh kenangan itu, yang membuatku tidak waras. Aku harus musnahkan semua. Aku harus bahagia, dengan atau tidak bersama makhluk sinting itu. Aku pantas untuk bahagia!

     Aku berteriak, kencang… sangat kencang sehingga suara mampu mendistorsi ruang dan waktu. Segalanya kembali nyata. Lara ini menyadarkan. Semua kejadian berjalan tidak sesuai dengan keinginan sang pelaku. Semua jalan hidup harus rela membiarkan takdir ikut serta dalam skenario-Nya dan kamu tidak bisa sesuka hati menyetir takdirmu sendiri.

    Aku mendengar langkah kaki, semakin mendekat. Sampai aku bisa merasakan ada kehadiran seseorang. Aku berusaha keras untuk tidak memperdulikan. Tapi langkah itu semakin menghadirkan rasa nyeri. Aku berbalik badan, berusaha menampilkan wajah seperti orang yang baru mendapat undian jalan-jalan gratis ke Ethiopia.

      Aku melihatnya, Ergam. Mematungkan diri, entah dengan ekspresi macam apa.

     ‘’Kamu enggak baik-baik saja’’ Ucapnya.


 ‘’SELESAI’’