CHAPTER IV
‘’Satu Kisah yang Tidak Harus Dipercaya’’
Betapa
indahnya senja itu merunduk dengan lesu, seperti dirujami rindu. Ormuzd yang
berperan sebagai dewa terang tak bisa berbuat apa-apa kecuali menyatakan
kekalahannya kepada Ahriman. Gelap mulai menyelimuti langit-langit sore. Burung-burung
mulai bergerombol berterbangan kembali ke sarang dengan campuran riuk
angin-angin yang tenang. Aku menyeruput kopi, masih hangat. Sedang lelaki di
sebelahku masih khusyuk memandang palet langit-langit Azura yang mulai pudar
jingganya. Sungguh tampan ketika muka mulus itu terpampar sinar kekuningan,
ingin aku.. sssst jangan diteruskan nanti ada anak kecil baca. Bahaya!
Inilah
kita sekarang, bukan hanya kumpulan subjek yang beratasnakaman ‘’aku dan kamu
’’ tapi sudah menjadi satu kesatuan yang berbentuk ‘’kita’’. Aku tidak sungkan
lagi untuk menuliskannya. Karena dalam aku, sudah ada kamu, begitu juga
sebaliknya. Aku memegang tangannya yang hangat, tidak lebih hangat dari kopi
yang baru saja aku seruput itu. Aku mencium tangan itu dengan lembut. Sedang senja
sudah tidak menampakan apa-apa lagi. Hanya ada lilin dihadapan kita sebagai
pemanis romansa. Dan aku bisa melakukan apa saja dengannya tanpa sungkan. Ah
maaf, khusus kisah ini memang tidak diperuntukan dibaca oleh anak-anak. Eh
tunggu.. sebentar! Kenapa di kisah ini aku dibuat menjadi pihak yang agresif? Ah
tidak masalah, jika aku memang mau he..he.
Beginilah
akhir dari kebahagianku. Pada akhirnnya Tuhan menyerah dengan rengekan
doa-doaku. Entah dengan suka atau duka, Ia sudi mempersatukan dua orang sinting
ini. Aku tidak ingin menjadi waras jika itu indikator untukku berpisah
dengannya. Lagian apa itu waras juga masih diperdebatkan oleh Hegel dan
kawan-kawannya.
Keluarga
mungil yang bahagia, dengan rumah kecil yang sederhana. Taman luas dengan
berbagai tanaman bunga. Ada perpustakaan dan ruang santai untukku menghabiskan
berajam-jam di sana. Aku bilang padanya ‘’aku gak mau rumah besar, nanti capek
bersih-bersihnya’’ dia cuma senyum meng-iyakan. Aku juga bilang ‘’aku mau ada
danau di belakang rumah biar bisa duduk berdua, ngobrol santai sambil melihat
senja’’ dia senyum lagi-lagi meng-iyakan. Kamu tahu betapa bahagianya aku
memiliki dia. Pegang dadaku deh, pelan saja tapi. Denger nggak? Kayak ada suara
air mendidih. Panas dan meletup-letup.
‘’Kasian
Socrates, di saat anak-anak jaman sekarang lagi suka main game, anime dan
sosmed, dia di jaman dulu justru sibuk murung sambil ngorek-ngorek tanah’’
ucapku santai sambil menyeruput kopi yang mulai dingin. Inilah keseharian kita,
ketika selesai berutinitas. Membicarakan hal-hal tidak penting diantara hal
paling tidak penting lainnya. Tujuannya adalah untuk menjaga hal-hal penting
agar tetap eksis. Itu kutipannya Wisnu Nugroho di bio twitternya.
‘’Murung
juga bagian dari proses berfikir. Aku berfikir maka aku ada. Mungkin dengan
murung itulah, dia merasa menjadi ada’’
‘’Haha
cogito ergo sum’’
‘’Mungkin
Thomas Alva Edison juga demikian ketika menciptakan lampu. Dia berada dalam
ranah kosong, kegelapan, yang menurut Plotinus gelap itu tidak ada yang ada
hanya kekurangan cahaya’’ dia henti sejenak, menyeruput kopi sambil memandang
genangan air danau yang bersinar akibat pantulan cahaya bulan. Aku
mengamatinya.
‘’Lalu?’’
‘’Munculah
lampu’’
‘’Udah?’’
‘’Hmm’’
‘’Sungguh
pernyataan yang cerdas, inspiring!’’
Hahaha..
kita tertawa dengan kebegoan masing-masing.
‘’Emilia
Clark pernah gak sih kesleo lehernya pas lagi ngulet?’’
BRUZZZZZZZz!!!
Terdenger dentuman seperti roket berkekuatan massiv meledak di samping rumah
kami. Aku terperanjak mencari asal-muasal suara itu. Dia masih duduk santai di
kursinya nyomot gorengan lalu memasukan cabe ke mulutnya. Keadaan menegangkan
dengan sentuhan dark ini seperti perpaduan antara Romantisme Jerman dengan
Eksistensialisme Klasik. Beberapa makhluk aneh muncul, bentuknya seperti
lobster yang bisa berdiri dan memiliki dua kaki. Mereka mengerubungi kami.
Baginya kami ini hanyala sepotong risoles yang jatuh dilantai lalu dikerumi
laler-laler, dan merekalah lalernya.
‘’Siapa
kalian?’’ ucapku tegang, aku memegang lengan suamiku, menikmati ketegangan
Fasisme Mussolini.
‘’Apa
kalian ini Homarus?’’ ucap suamiku sok tahu.
‘’Kamu
benar, kamu tahu namaku, kalau begitu aku tidak jadi menyerang kalian, aku akan
kembali ke dimensiku. Selamat tinggal’’ ucap monster itu gembira.
‘’Heh
jangan sontoloyo kamu, bukannya kalian itu hanyala makhluk Tuhan yang salah
rupa!’’ ucapku sok tahu juga.
‘’Biadab!’’
ucap monster itu yang tahu kalau dia begitu.
Monster-monster
yang berjumlah puluhan itu mulai membentuk lingkaran merubungi kami berdua yang
berada di tengah-tengahnya. Mereka mengelurkan semburan api dari mulutnya.
Tuhan mungkin sedang sibuk sehingga lupa bahwa Naga yang harusnya berperan
seperti itu. Ah suka-suka Tuhan lah.
CRAAAAZZZZ!
BRUZZZZZ! PRAAAAAKKK! PREKETEKKKK! KREK! KREK!
Suara
leher suamiku yang diplintir ke kanan dan ke kiri, dia sudah berancang-ancang
untuk melindungiku.
‘’Palu
Thor!!!’’ tangan kanannya menengadah ke langit.
JDAAAARRR!
Suara petir bergemuruh. Lalu sesuatu melucut seperti kilatan dengan kecepatan
cahaya menuju ke tangan suamiku. Itu palunya Thor. Huahahahaha tawanya keras,
bahagia dia.
‘’Kalian
monster salah rupa tidak akan bisa dengan sontoloyo menginvasi bumi!’’
‘’Rasakan
ini, mahluk berbau manusia!’’ wuzzzzz semburan api muncul dari mulutnya, namun
dengan sigap suamiku menghalau dengan palu Thor.
JDARRRRRRR!
Suara petir kedua datang lebih gemuruh, seseorang meluncur dari petir itu, ia
bermuka garang dengan baju besinya.
‘’Siapa
kamu?’’ ucapku deg-degan.
‘’Aku
Thor, kembalikan paluku!’’
HAHAHA!
Aku tertawa geli, menutup muka saking malunya membayangkan hal-hal ajaib
seperti itu.
‘’Kamu
autis apa gimana sih dari tadi ketawa-ketawa sendiri ga mau bagi”
‘’Cinta
bisa saja autis, tapi itu yang buat kamu beda’’
‘’Monyong!’’
Aku
dan temanku sedang duduk di pojok salah satu rumah makan langganan. Aku suka
pojok, bukan berarti suka dipojokkan atau memojokkan sesuatu, suka aja, nggak
ada alasan apapun.
Masih
pertengahan November, dan lagu surya kembara mengiringi sore itu. Aku tidak
lagi rindu dengan siapapun. Aku hanya ingin mendengar lagu itu di bulan hujan,
dan kebetulan ada kata ‘merindu’ di akhir liriknya. Epik!
Seperti
biasa, aku kesepian yang termanipulasi menjadi kurang kerjaan. Ada segelas susu
serta beberapa biskuit untuk menemani rasa brengsek itu. Aku membuka sosmed dan
menemukan satu pesan yang ketika aku buka, lagu surya kembara telah usai dengan
kata ‘merindu-nya’ yang entah bagaimana aku sadar, apa yang aku rindukan telah
hadir dalam bentuk virtual.
‘’Aku
minggu kemarin ke Jogja. Niatnya pengen mampir, eh kamu di sms gak masuk’’
Itu
yang tertulis di pesan, aku biasa-biasa aja awalnya ketika membaca. Namun, lagu
The Smiths- Heaven knows I’m miserable now bersuara lain, seolah-olah
menyadarkan kalau aku sedang dipecundangi takdir. Mungkin Tuhan belum
menakdirkan aku dan dia untuk bertemu dalam realita fisik yang utuh, karena
saat itu aku sedang jerawatan. Tapi itu bukan prioritas! Aku tidak ada masalah
dengan tampilan mukaku saat itu. Aku sudah cantik dalam keadaan apapun, dalam
indikatorku sendiri. Tapi Tuhan mana tahu itu? Aku tidak harus dipertemukan
dengannya dalam keadaan cantik kan? Intinya, aku mengutuk takdir dan segala
kebodohanku untuk tak acuh dengan ponsel sendiri yang lebih memilih
mengaktifkan paket kuota.
‘’Hah
ngapain? Kapan ke Jogja lagi?’’ aku seolah-olah terkejut, entah dia sadar atau
tidak, aku memang terkejut dengan kebodohan diri sendiri.
Mungkin
kesannya aku sedikit memohon untuk dia mendatangiku saat ke Jogja lagi. Dia
memang akan datang untuk urusan pekerjaan, sekitar akhir minggu ini. Dan selama
satu minggu itu, setiap mau mandi aku jadi suka ngacak-ngacak air di bak mandi.
Itu hanya bentuk eskapis saat aku marah dengan diri sendiri.
Satu
minggu berlalu. Dia tidak menghubungi. Persetan dengan gengsi! Untuk kali ini,
aku merasa tidak masalah ketika harus menghubungimu lebih dulu untuk menanyakan
‘’kamu jadi datang?’’ Aku ingin menemuinya. Rasa haus ingin bertemu, entah
mengapa lebih mengeringkan dari tanah yang menahun tak dirundungi hujan.
Begitulah analogi yang dikatakan pujangga sok romantik itu.
Desiran
karbondioksida semakin memenuhi ruang 2x4 yang aku tinggali selama beberapa
waktu ini. Tak ada bunyi lain selain ‘’kruyuk..kruyuk’’ dari perutku yang aku
abaikan. Sampai saat ini aku tidak tahu, mengapa seseorang bisa menyayangi
suatu hal, melebihi rasa lapar dari perutnya sendiri. Mendadak aku lelah untuk
menjelaskan jenis lapar secara fundamentalis. Yang aku tahu, kamu memang tidak
datang.
Kedatanganmu
bagiku hanyalah menstruasi yang tidak tepat waktu. Adakalanya hormon menjadi
penghambat. Jika tidak ada sel sperma yang membuahi, dinding rahim itu akan
runtuh. Dan kamu akan datang. Aku yakin itu.
Aku
menyayangimu, melebihi dari siapapun. Meskipun aku menyayangimu, aku ingin
sekali marah. Aku ingin meneriakan kekesalan ini dengan siapapun yang ingin
mendengar. Kamu tahu? Aku ingin kamu ada. Meski kamu selalu ada. Selalu hadir
dalam realita fisik yang tidak utuh. Aku ingin kamu benar-benar ada, merasakan
hangat saat dua tangan saling berjabat. Aku ingin kamu ada di sini, menemaniku.
Membicarakan rumus mekanika kuantum atau tentang bagaimana ikan paus melahirkan
tanpa ia harus mengerang kesakitan. Aku ingin membicarakan apapun yang tidak
penting denganmu. Berdebat tentang teori-teori bullshit yang tidak akan
menghadirkan perdamaian dunia. Kendati begitu, aku akan merasa nyaman.
‘’Aku
belum ke Jogja, kemungkinan akhir bulan ini’’
Mendapat
pesan itu aku semakin mengutuk rasa brengsek ini. Akulah oportunis yang
menginginkanmu datang. Entah bagaimana bisa, kata ‘’kemungkinan’’ bagiku
hanyalah fana, ia hadir sebagai pelengkap kalimat yang menyatakan bahwa aku
terlalu banyak berkhayal yang menginginkanmu ada.
Akhir
bulan sudah lewat, bahkan akhir tahunpun datang. Aku sudah menunggumu selama
itu dengan perasaan dinamis yang bergerak monoton. Aku ingin percaya dengan
segala kemungkinanmu, sungguh aku ingin begitu. Tapi tidak dengan takdir. Ia
berencana lain yang tidak sependapat denganku. Dialah yang apatis selama ini
mengatur urusanku.
Perkara
kehadiran, entah mengapa menjadi hal yang rumit. Kamu seperti rasa kebelet
pipis yang jadwal hadirnya tidak bisa diprediksi. Bagimu mungkin ini sesuatu
yang sepele. Karena masing-masing rasa kita berbeda. Kamu tidak pernah tahu,
aku menunggumu kesakitan yang selalu percaya dengan kata ‘kemungkinanmu’ untuk
hadir. Tapi kamu di sana mungkin saja sedang asik main Clash of Clans yang
tidak pernah aku mengerti cara mainnya.
Aku
membiarkan dua bulan terbuang dengan penungguan sia-sia. Aku meronta kesal
dengan jalan hidupku sendiri. Kalau Tuhan baik, apa boleh aku meminjam
catatan-Nya untuk mengintip sedikit tentang pertemuanku dengan makhluk sinting
itu? Adakah tertulis di sana? Jika memang ada, aku pasti bahagia.
Siang
itu mendung, sudah Januari. Tapi aku tidak menginginkan apapun dari bulan
kelahiranku itu. Banyak suara, tapi kali ini aku tidak merasa terganggu. Aku
membiarkannya masuk ke telinga dan suatu saat aku pasti akan mengingatnya.
Bahwa aku sedang berada di candi, untuk meluapkan perasaan. Aku menjadikan
keinginan bertemu dan segala kekesalan sebagai rahasia untukku nikmati sendiri.
Akan aku simpan rapat-rapat di tempat ini. Aku berkeliling candi mencari celah
lubang untukku bisa berbisik di sana.
Aku
meletakkan kepalaku di puing. Merabanya dengan tanganku untuk meyakinkan bahwa
ia akan baik-baik saja mendengar segala resah. Dan di lubang itulah aku
bercerita segalanya. Tentang kisah dua orang sinting yang tidak harus dipercaya.
Aku
hanya ingin bertemu denganmu. Entah mengapa memang harus.
TO BE CONTINUE~