FEATURE
Metode
Penelitian Komunikasi (kualitatif)
“TRADISI
JAJAN PASAR RIWAYATMU KINI”
Ditulis oleh: Wiwin Winarni
Modernisasi
menjadi lakon utama dalam mereduksi budaya yang semakin hilang jati dirinya.
Keunikan tradisi jawa ‘’jajan pasar’’ yang dahulu saat saya masih kecil, sekitar awal tahun 2000-an menjadi piral utama dalam perayaan
momen sakral sudah tidak nampak lagi. Proses pragmatis yang diafiliasikan ke
ranah modern menjadikan tradisi di masa kecilku itu lambat laun menghilang
menjadi artefak budaya yang digantikan ke hal-hal instan.
Anak-anak
di masaku dulu sangat bereuforia ketika ada tetangga merayakan momen penting
sebagai ungkapan rasa syukur dengan menggunakan tradisi tersebut. Berbagai
jajanan pasar yang terdiri dari gethuk, pilus, ciwel, lanthing, onde-onde, dan
pecel tersaji dalam nampan berbentuk bulat yang diletakan di atas bokor berisi
air dan uang siap diperebutkan oleh sekawanan anak-anak maupun orang dewasa.
Bagiku
momen itu menjadi estetika yang sayang untuk dilewatkan ketika saling
tarik-menarik hanya untuk mendapat uang di bokor tersebut. Bagi anak-anak
seusia kami mendapat uang secara cuma-cuma selain sebagai tambahan uang jajan
juga menjadi eskapis tersendiri untuk tetap menikmati kebahagiaan dengan sentuhan
budaya.
Apa
yang nampak sekarang sebagai apresiasi perayaan syukur sudah berbanding
terbalik, jajan pasar sudah menjadi riwayat yang entah kapan akan kembali
menjadi rutinitas budaya di desaku itu, Desa Karangjati yang berada di sudut
Sampang, Kota Cilacap. Banyak arah lalu lintas menjadi portal masuknya
modernisasi yang melunturkan tradisi jajan pasar. Sekarang yang nampak hanyalah
pragmatisasi dengan sekedar memberikan uang kepada anak-anak atau apresiasi
syukur dengan acara yasinan biasa dengan polesan religus tanpa adanya sentuhan
budaya jajan pasar yang menjadi khas desa kami.
Asal-usul
lahirnya tradisi jajan pasar adalah dari budaya jawa itu sendiri yang dibawa
oleh para Sunan saat menyebarkan agama Islam. Namun, jajan pasar yang saya
kenal sudah dimodifikasi sesuai dengan standar daerah kami. Implikasi dari
tradisi ini dikembangkan sesuai keadaan masyarakat yang berada di daerah
pertengahan antara jawa kekeratonan dan budaya ngapak. Lambat laun tradisi ini
diakui dan selalu menjadi peron utama saat acara syukuran bagi masyarakat
menengah hingga atas.
Tradisi
jajan pasar yang dikenal di daerah saya bukan artifisial dari jajanan
tradisional yang dijual di pasar namun lebih ke persoalan budaya dan
nilai-nilai spiritualisme tentang bagaimana orang-orang daerah kami berucap
syukur kepada Tuhan atas segala kelimpahan dan kebahagiaan menggunakan ritual
religius. Ritual dari jajan pasar adalah memadukan berbagai jajanan tradisonal dengan
sesajen yang terdiri dari kembang-kembangan serta bubur nasi putih dan merah,
bubur nasi merah itu sendiri adalah nasi yang dicampur dengan gula jawa.
Ritual
religius berarti instrumen dari ritual tersebut dipadukan dengan sentuhan
religius. Berbagai jajanan pasar dan sesajen diletakan di nampan bulat di atas
ember yang berisi air serta uang recehan. Anak-anak maupun orang dewasa
berkumpul mengelilingi dan pemimpin doa menjadi maskot utama dalam pergelatan
persembahan rasa syukur melalui panjatan doa-doa bernuansa islami.
Ibu
Katiyem (85) adalah salah satu sesepuh dari desa saya yang masih rutin
menggunakan tradisi jajan pasar. Baginya tradisi ini merupakan cara yang mudah
untuk ucapan rasa syukur yang memiliki arti sepasar atau merata. Ketika sembuh
dari sakit ia juga kerap menggunakan tradisi ini.
Jajan
pasar juga memiliki makna simbolik yang bervariasi selain interpretasi dari
ucapan rasa syukur juga digunakan sebagai keba (tujuh bulanan). Namun, ada
sedikit berbeda, jajan pasar untuk keba biasanya ada belut yang di letakan di
bokor beserta dengan uang recehan. Belut tersebut bersimbolisasi untuk
kelancaran saat proses lahiran.
Masyarakat
jaman dahulu percaya dengan hal-hal seperti itu, meski saat ini jarang sekali
ditemukan perayaan keba menggunakan jajan pasar. Biasanya mereka hanya
syukuran/slametan di rumah dengan mengundang warga, sekedar proses religius
tanpa adaya tradisi budaya.
Selain
belut yang memiliki pesan simbolik dalam tradisi ini, bubur putih dan merah
juga memiliki arti tersendiri. Bubur putih bermakna untuk saudara/ sedulur muda
sedangkan merah untuk sedulur tua, yang berimplementasi pada keterikatan antar
saudara. Segala hal yang berkaitan dengan jajan pasar memiliki simbolisasi yang
dipercaya secara turun temurun. Bagi yang percaya akan tetap melestarikan
tradisi tersebut, tidak peduli meski arus modernisasi mengakibatkan asimilasi
yang akan mereduksi budaya aslinya. Orang-orang sepuh inilah yang patut diberi
apresiasi sebagai aparat tradisi dalam mempertahankan identitas budaya.
Jajan
pasar sudah dikenal sejak lama. Tidak diberi patokan siapa saja yang melakukan
tradisi ini. Baik kalangan menengah bawah maupun atas diperbolehkan, asal
berasal dari Jawa. Anak-anak adalah subjek utama yang diundang dalam tradisi
ini karena euforia mereka sangat ramai dan diharapkan kesenangan mereka akan
membawa keberkahan.
Saat
masa kanak-kanak dahulu, saya selalu mengikuti tradisi ini bersama teman
sebaya. Menjelajah rumah ke rumah untuk mengundang orang-orang. Lebih banyak
yang mengikuti justru makin mengasyikan.
Saya
selalu mengenang saat perebutan uang di dalam bokor. Biasanya saya selalu
menjadi pihak yang mendapat uang paling sedikit dan baju yang paling banyak
mendapat cipratan air. Inilah puncak kesenangan mengikuti tradisi ini. Ada
beberapa orang yang berbuat jahil, saat anak-anak berebut uang receh di bokor,
ia lantas mencipratkan air ke sana ke mari sehingga semua yang berada di situ
basah kuyup dan tawapun lepas dari mulut kami masing-masing.
Dalam
tradisi Jajan Pasar juga akan mengundang pemimpin doa untuk melafalkan berbagai
ayat serta panjatan doa yang ingin dikabulkan oleh si peminta doa/yang
melaksanakan Jajan Pasar. Pemimpin doa tidak harus dari kalangan Kyai,
masyarakat awam juga diperbolehkan asal ia lelaki, sudah aqil baliq, dan hafal
doa-doa. Biasanya isi doa tersebut adalah panjatan-panjatan untuk sesuatu yang
ingin dicapai atau sesuatu yang sudah disyukuri.
Menurut
Ibu Katiyem tradisi jajan pasar masih tetap ada dan tidak akan bisa
ditinggalkan jika kalangan muda mau menjadi pionir untuk melestarikan budaya
leluhur. Di era ini, hal-hal konservatif mulai terlihat kuno dan tidak peka
terhadap perkembangan jaman, sehingga kaum muda tidak memiliki impresi untuk
menggunakan tradisi ini sebagai apresiasi hari-hari penting dan lebih memilih
sesuatu yang bersifat pragmatis. Hal ini juga menjadi salah satu faktor mengapa
tradisi jajan pasar mulai jarang terlihat sebagai sebuah perayaan.
Ketika
pikiran saya sibuk berlogika memikirkan alasan tradisi jajan pasar mulai
ditinggalkan. Nalar justru berontak untuk mengkaji ulang tentang mengapa ritual sesajen justru dipadukan dengan romansa
religuitas. Mungkin inilah kehebatan modernisasi mampu membuka cakrawala
pemikiran orang-orang awam untuk lebih kritis terhadap relativitas berbudaya
atau pergerakan budaya menjadi lebih realis sesuai standar kekinian. Memadukan
unsur agama dengan tradisi sesajen bagi mereka yang dogmatis justru memiliki
arti yang kontradiksi. Bagi mereka apa yang tidak diterima akal akan
ditinggalkan.
Bagi
saya tradisi bisa dibilang suatu mesias yang tidak bisa direlasikan namun masih
bisa diterima sebagai bagian dari pola hidup yang turun temurun. Ketika tradisi
jajan pasar dengan perpaduan sesajen dan religius sangat sulit ditemukan relasi
yang masuk akal untuk dipersatukan karena keduanya adalah klan yang berbeda.
Namun, jika melihat dari segi nilai-nilai leluhur masih ada beberapa orang
sepuh percaya bahwa itulah estetika dari culture-enthusias.
Tradisi adalah bagian dari budaya sedangkan agama adalah nilai kepercayaan.
Menggabungkan unsur-unsur tersebut berarti meleburkan dogma untuk menghormati Alam
serta ke-Tuhanan-nya.
Indonesia
Negara berbudaya dengan keanekaragaman yang variatif di setiap daerah. Tradisi
jajan pasar adalah kebanggan daerah kami yang patut dilestarikan meski
modernisasi kerap meminggirkan. Jika tradisi ini akan tetap ada sampai 50 tahun
kedepan dan seterusnya maka budaya ini tidak hanya menjadi artefak yang akan
diceritakan melalui dongeng anak-anak saja. Generasi mendatang pun harus bisa
merasakan euforia serta kehangatan menghabiskan masa anak-anak dengan tradisi
ini. Berbudaya bukan sekedar belajar teori-teori melalui pendidikan atau
otodidak dengan kecanggihan teknologi saja tetapi mampu mempraktekan dan
menjadi pelopor untuk mengembangkan tradisi leluhur agar tetap berjalan.
Jajan
pasar di masa dulu masih bisa dinikmati secara humanis. Namun, seiring tumbuhnya modernisasi tradisi tersebut justru
terlihat humoris.
Narasumber: Ibu Katiyem (85 Tahun)
makasih infonya kak..
BalasHapusjadi pengen pulang kampung yang banyak jajan pasar
resep jajanan
Meski jaman sudah modern. Saya msh menjalankan budaya bubur merah putih dan jajan pasar. Ada rasa kepuasan tersendiri msh bisa melestarikan budaya leluluhur.
BalasHapus