Sabtu, 23 Januari 2016

TRADISI JAJAN PASAR RIWAYATMU KINI

FEATURE
Metode Penelitian Komunikasi (kualitatif)

“TRADISI JAJAN PASAR RIWAYATMU KINI”

Ditulis oleh: Wiwin Winarni

Modernisasi menjadi lakon utama dalam mereduksi budaya yang semakin hilang jati dirinya. Keunikan tradisi jawa  ‘’jajan pasar’’ yang dahulu saat saya masih kecil, sekitar awal tahun 2000-an menjadi piral utama dalam perayaan momen sakral sudah tidak nampak lagi. Proses pragmatis yang diafiliasikan ke ranah modern menjadikan tradisi di masa kecilku itu lambat laun menghilang menjadi artefak budaya yang digantikan ke hal-hal instan.
Anak-anak di masaku dulu sangat bereuforia ketika ada tetangga merayakan momen penting sebagai ungkapan rasa syukur dengan menggunakan tradisi tersebut. Berbagai jajanan pasar yang terdiri dari gethuk, pilus, ciwel, lanthing, onde-onde, dan pecel tersaji dalam nampan berbentuk bulat yang diletakan di atas bokor berisi air dan uang siap diperebutkan oleh sekawanan anak-anak maupun orang dewasa.
Bagiku momen itu menjadi estetika yang sayang untuk dilewatkan ketika saling tarik-menarik hanya untuk mendapat uang di bokor tersebut. Bagi anak-anak seusia kami mendapat uang secara cuma-cuma selain sebagai tambahan uang jajan juga menjadi eskapis tersendiri untuk tetap menikmati kebahagiaan dengan sentuhan budaya.
Apa yang nampak sekarang sebagai apresiasi perayaan syukur sudah berbanding terbalik, jajan pasar sudah menjadi riwayat yang entah kapan akan kembali menjadi rutinitas budaya di desaku itu, Desa Karangjati yang berada di sudut Sampang, Kota Cilacap. Banyak arah lalu lintas menjadi portal masuknya modernisasi yang melunturkan tradisi jajan pasar. Sekarang yang nampak hanyalah pragmatisasi dengan sekedar memberikan uang kepada anak-anak atau apresiasi syukur dengan acara yasinan biasa dengan polesan religus tanpa adanya sentuhan budaya jajan pasar yang menjadi khas desa kami.
Asal-usul lahirnya tradisi jajan pasar adalah dari budaya jawa itu sendiri yang dibawa oleh para Sunan saat menyebarkan agama Islam. Namun, jajan pasar yang saya kenal sudah dimodifikasi sesuai dengan standar daerah kami. Implikasi dari tradisi ini dikembangkan sesuai keadaan masyarakat yang berada di daerah pertengahan antara jawa kekeratonan dan budaya ngapak. Lambat laun tradisi ini diakui dan selalu menjadi peron utama saat acara syukuran bagi masyarakat menengah hingga atas.
Tradisi jajan pasar yang dikenal di daerah saya bukan artifisial dari jajanan tradisional yang dijual di pasar namun lebih ke persoalan budaya dan nilai-nilai spiritualisme tentang bagaimana orang-orang daerah kami berucap syukur kepada Tuhan atas segala kelimpahan dan kebahagiaan menggunakan ritual religius. Ritual dari jajan pasar adalah memadukan berbagai jajanan tradisonal dengan sesajen yang terdiri dari kembang-kembangan serta bubur nasi putih dan merah, bubur nasi merah itu sendiri adalah nasi yang dicampur dengan gula jawa.
Ritual religius berarti instrumen dari ritual tersebut dipadukan dengan sentuhan religius. Berbagai jajanan pasar dan sesajen diletakan di nampan bulat di atas ember yang berisi air serta uang recehan. Anak-anak maupun orang dewasa berkumpul mengelilingi dan pemimpin doa menjadi maskot utama dalam pergelatan persembahan rasa syukur melalui panjatan doa-doa bernuansa islami.
Ibu Katiyem (85) adalah salah satu sesepuh dari desa saya yang masih rutin menggunakan tradisi jajan pasar. Baginya tradisi ini merupakan cara yang mudah untuk ucapan rasa syukur yang memiliki arti sepasar atau merata. Ketika sembuh dari sakit ia juga kerap menggunakan tradisi ini.
Jajan pasar juga memiliki makna simbolik yang bervariasi selain interpretasi dari ucapan rasa syukur juga digunakan sebagai keba (tujuh bulanan). Namun, ada sedikit berbeda, jajan pasar untuk keba biasanya ada belut yang di letakan di bokor beserta dengan uang recehan. Belut tersebut bersimbolisasi untuk kelancaran saat proses lahiran.
Masyarakat jaman dahulu percaya dengan hal-hal seperti itu, meski saat ini jarang sekali ditemukan perayaan keba menggunakan jajan pasar. Biasanya mereka hanya syukuran/slametan di rumah dengan mengundang warga, sekedar proses religius tanpa adaya tradisi budaya.
Selain belut yang memiliki pesan simbolik dalam tradisi ini, bubur putih dan merah juga memiliki arti tersendiri. Bubur putih bermakna untuk saudara/ sedulur muda sedangkan merah untuk sedulur tua, yang berimplementasi pada keterikatan antar saudara. Segala hal yang berkaitan dengan jajan pasar memiliki simbolisasi yang dipercaya secara turun temurun. Bagi yang percaya akan tetap melestarikan tradisi tersebut, tidak peduli meski arus modernisasi mengakibatkan asimilasi yang akan mereduksi budaya aslinya. Orang-orang sepuh inilah yang patut diberi apresiasi sebagai aparat tradisi dalam mempertahankan identitas budaya.
Jajan pasar sudah dikenal sejak lama. Tidak diberi patokan siapa saja yang melakukan tradisi ini. Baik kalangan menengah bawah maupun atas diperbolehkan, asal berasal dari Jawa. Anak-anak adalah subjek utama yang diundang dalam tradisi ini karena euforia mereka sangat ramai dan diharapkan kesenangan mereka akan membawa keberkahan.
Saat masa kanak-kanak dahulu, saya selalu mengikuti tradisi ini bersama teman sebaya. Menjelajah rumah ke rumah untuk mengundang orang-orang. Lebih banyak yang mengikuti justru makin mengasyikan.
Saya selalu mengenang saat perebutan uang di dalam bokor. Biasanya saya selalu menjadi pihak yang mendapat uang paling sedikit dan baju yang paling banyak mendapat cipratan air. Inilah puncak kesenangan mengikuti tradisi ini. Ada beberapa orang yang berbuat jahil, saat anak-anak berebut uang receh di bokor, ia lantas mencipratkan air ke sana ke mari sehingga semua yang berada di situ basah kuyup dan tawapun lepas dari mulut kami masing-masing.
Dalam tradisi Jajan Pasar juga akan mengundang pemimpin doa untuk melafalkan berbagai ayat serta panjatan doa yang ingin dikabulkan oleh si peminta doa/yang melaksanakan Jajan Pasar. Pemimpin doa tidak harus dari kalangan Kyai, masyarakat awam juga diperbolehkan asal ia lelaki, sudah aqil baliq, dan hafal doa-doa. Biasanya isi doa tersebut adalah panjatan-panjatan untuk sesuatu yang ingin dicapai atau sesuatu yang sudah disyukuri.
Menurut Ibu Katiyem tradisi jajan pasar masih tetap ada dan tidak akan bisa ditinggalkan jika kalangan muda mau menjadi pionir untuk melestarikan budaya leluhur. Di era ini, hal-hal konservatif mulai terlihat kuno dan tidak peka terhadap perkembangan jaman, sehingga kaum muda tidak memiliki impresi untuk menggunakan tradisi ini sebagai apresiasi hari-hari penting dan lebih memilih sesuatu yang bersifat pragmatis. Hal ini juga menjadi salah satu faktor mengapa tradisi jajan pasar mulai jarang terlihat sebagai sebuah perayaan.
Ketika pikiran saya sibuk berlogika memikirkan alasan tradisi jajan pasar mulai ditinggalkan. Nalar justru berontak untuk mengkaji ulang tentang mengapa  ritual sesajen justru dipadukan dengan romansa religuitas. Mungkin inilah kehebatan modernisasi mampu membuka cakrawala pemikiran orang-orang awam untuk lebih kritis terhadap relativitas berbudaya atau pergerakan budaya menjadi lebih realis sesuai standar kekinian. Memadukan unsur agama dengan tradisi sesajen bagi mereka yang dogmatis justru memiliki arti yang kontradiksi. Bagi mereka apa yang tidak diterima akal akan ditinggalkan.
Bagi saya tradisi bisa dibilang suatu mesias yang tidak bisa direlasikan namun masih bisa diterima sebagai bagian dari pola hidup yang turun temurun. Ketika tradisi jajan pasar dengan perpaduan sesajen dan religius sangat sulit ditemukan relasi yang masuk akal untuk dipersatukan karena keduanya adalah klan yang berbeda. Namun, jika melihat dari segi nilai-nilai leluhur masih ada beberapa orang sepuh percaya bahwa itulah estetika dari culture-enthusias. Tradisi adalah bagian dari budaya sedangkan agama adalah nilai kepercayaan. Menggabungkan unsur-unsur tersebut berarti meleburkan dogma untuk menghormati Alam serta ke-Tuhanan-nya.

Indonesia Negara berbudaya dengan keanekaragaman yang variatif di setiap daerah. Tradisi jajan pasar adalah kebanggan daerah kami yang patut dilestarikan meski modernisasi kerap meminggirkan. Jika tradisi ini akan tetap ada sampai 50 tahun kedepan dan seterusnya maka budaya ini tidak hanya menjadi artefak yang akan diceritakan melalui dongeng anak-anak saja. Generasi mendatang pun harus bisa merasakan euforia serta kehangatan menghabiskan masa anak-anak dengan tradisi ini. Berbudaya bukan sekedar belajar teori-teori melalui pendidikan atau otodidak dengan kecanggihan teknologi saja tetapi mampu mempraktekan dan menjadi pelopor untuk mengembangkan tradisi leluhur agar tetap berjalan.

Jajan pasar di masa dulu masih bisa dinikmati secara humanis. Namun, seiring  tumbuhnya modernisasi tradisi tersebut justru terlihat humoris.

Narasumber: Ibu Katiyem (85 Tahun)