Chapter
III
S.H.M.I.L.Y
‘’Asik
deh yang mau wisuda’’
‘’Tapi
belum move on juga tuh’’
‘’Taik!
Bertahan sampe 7 tahun lebih, stuck di orang yang sama, gak variatif banget
hidupmu haha’’
‘’Bisa
diem gak kalian?’’
Itulah
pernyataan membabi buta yang terkesan menghina dan terkadang cenderung nampar.
Kita berempat sedang duduk santai di angkringan dekat kampus negeri. Tempat
salah satu temanku menempuh kuliah, dan sialnya dia sudah wisuda duluan. Mereka
merupakan sohib terlama yang sudah menemani
dalam suka dan kebanyakan duka selama hampir 11 tahun, sejak kita masih ingusan pakai seragam putih biru.
Ucapan
mereka seperti menari-nari di depan wajah yang mampu menampar dalam sudut
kenangan kelam 2 tahun lalu. Saat aku percaya diri untuk memberikan lukisan
wajahnya sebagai ungkapan perasaan, saat pertemuan antah berantah yang
membuatku bimbang ingin menangis atau tertawa dan saat semua perasaan tidak
pernah terbalas. Aku mengingat pesan terakhir yang aku kirimkan padanya, yang
masih tertata rapi di ponsel usangku itu.
‘’He?’’
‘’Iya’’
‘’Cuma
mau ngucapin selamat hari kemerdekaan RI yang ke-70’’
‘’-_-
bisa nggak kasih selamat yang lain, kayak dapat hadiah misal’’
‘’Yaudah,
selamat kamu dapat hadiah’’
‘’Mana
hadiahnya?’’
‘’Hadiahnya,
coba deh kamu keluar rumah terus liat langit. Di situ ada beberapa bintang,
kamu boleh ambil satu’’
Sudah
berjam-jam pesan itu tidak terbalas, mungkin dia sudah langganan kehabisan
pulsa atau memang dia tidak minat untuk membalas karena tidak ada hal penting
lagi untuk dibicarakan meski sekedar becandaan seperti biasanya. Lalu aku
mengirim pesan lagi.
‘’Kalo
aku cinta sama kamu gimana?’’ tanganku gemetar untuk mengirim pesan hina itu
dengan mengklik tombol keramat ‘’send’’.
Jantung berkontraksi, sekaligus membodohi diri sendiri. Beberapa detik kemudian
aku menyunggingkan senyuman geli ‘’message
failed’’. Bitch! Sudah kuduga pulsa habis haha.
Pada
akhirnya pesan menggelikan itu dibiarkan olehnya, mungkin dia muak. Sampai 2
tahun berjalan pesan itupun tidak pernah ada balasan meski satu aksara. Aku dan
dia terpisah tanpa selamat tinggal atau basa-basi romansa seperti orang-orang
yang menjalin hubungan, karena memang aku dan dia tidak pernah ada ikatan. Dia
sadar aku bukanlah pilihan terbaiknya dan aku juga menyadari bahwa memang
menyakitkan saat perasaan yang meluap tidak pernah terbalas meski diketahui
bahkan cenderung terabaikan. Lali, akupun memilih untuk menghilang tanpa ingin
tahu lagi kabar manusia sinting itu.
Pertemuan
bersama tiga temanku cukup mengasyikan, kami berbincang banyak tentang cerita
masing-masing pihak yang cukup membuat kontraksi perut meningkat dengan
tambahan hormon dophamin yang meluap. Namun saat itu pikiran entah menghilang
kemana, ada seseorang di ujung sana yang sedang memungutnya. Aku memutuskan
untuk pulang lebih dulu, sekitar pukul 22.00 Waktu Indonesa Baper, aku mampir
ke salah satu mini market yang jaraknya tidak terlalu jauh dari rumahku. Tempat
di mana aku dan dia pernah berdiri di
lantai yang sama dalam satu atap. Aku membeli Root Beer lalu duduk di salah satu bangku, menikmati malam yang
semakin memanggil kenangan di masa dulu. Tentang dua orang autis sedang berdiri
saling bertukar gulungan keramat. Aku tersenyum memikirkan kekonyolan itu, lalu
tiba-tiba dada seperti tersengat sesuatu bermuatan listrik yang mengakibatkan
perut mual, ternyata ingatan kembali melintas batas kesadaran kepada masa saat
aku ingin mengungkapkan perasaan, yang berujung pada hal memalukan. Matakupun
berkaca-kaca, entah kenapa mual semakin terasa saat pikiran kembali sadar bahwa
ia yang sepertinya masih di bumi, lupa akan hal-hal biasa yang sudah terjadi
antara kami berdua. Aku dan dia menginjak tanah yang sama namun saling lupa
untuk bertukar kabar ataupun saling sapa dalam pesan.
Aku
membuka sosial media dan menstalking akunnya, bersih dan terawat. Sepertinya
dia sangat menyayangi akunnya itu, setiap hari disapu dan dipel dengan
pengharum beranda, hmmm. Ketik aku melihat satu foto dengan jumlah 28 like aku
hanya bisa diam sambil meneguk root beer
dengan ganas, karbon-karbon yang terkandung dalam minuman itu semakin
memanaskan suhu tubuh. Lalu aku memilih untuk pulang, dan masih tetap terdiam
sepanjang perjalanan pulang.
Kadang
pilihan terbaik saat sesak tidak bisa diluapkan hanyalah diam. Berbaring di
kasur sambil memandang palet langit atap dengan kesunyian tanpa gema di
sudut-sudut ruang. Aku beranjak dari kasur dan menemukan Bapak sedang asyik
nonton tivi dangdut kesayangannya. Aku duduk disebelahnya. Terdiam. Cukup lama.
Bapak juga diam sambil sesekali tertawa karena banyak adegan konyol dari aktor
ga lucu itu.
‘’Pak?’’
sahutku dengan sedikit nada kelu, ada sesuatu yang nyangkut di tenggorokan.
‘’Kok
baru pulang, ngapain aja, pergi sama siapa aja kamu?’’ Cecer bapak yang udah
menjadi pertanyaan rutinitas. Aku hanya diam. Bapak masih sibuk dengerin
banyolan artis-artis gak lucu itu.
‘’Pak’’
ucapku lirih, ngilu di sekitar tenggorokan bereklifase menuju ke sela-sela
muka. Rasanya masih sama, dari dulu bawang merah masih terasa pedih di mata.
‘’Pak..’’
ada jeda ‘’kok gak ada yang cinta sama wiwin ya?’’ ucapku sedikit sesenggukan,
entah sadar atau tidak itulah pernyataan argumentatif mengilukan yang berhasil
keluar dari persembunyian, seolah-olah itu benar dan tidak lagi ingin
dibungkam. Rasanya lega, mengetahui realita, bahwa dia di ujung sana, sama
sekali tidak pernah cinta, meski sedikit, sedikit saja.
‘’Seseorang
gak bisa memilih kepada siapa ia harus jatuh cinta. Kamu juga tidak harus
memaksa sesuatu yang gak bisa kamu kendalikan’’ itulah fatwa bapak yang begitu
mujarab, dan saat itu pula aku sadar, kesedihan karena jatuh cinta sendirian
itu sia-sia. Dan sialnya aku menikmati kesia-siaan itu.
Hari
ini tiba juga. Aku duduk di kursi dengan hidangan kue di tangan yang enggan aku
santap, meski harumnya memanggil-manggil. Aku mengamati sejenak, ada ruang
keikhlasan yang berhasil aku tembus untuk menempatkan dia dan wanitanya
bersanding di pelaminan. Aku sadar itulah takdir yang Tuhan kendalikan. Bahwa,
aku bukanlah pilihan utama. Bahkan, untuk sekedar alternatif pun hanya
metafora. Aku bukanlah apa-apa. Aku dan dia hanyalah konsep gagal yang Tuhan
selundupkan untuk sekedar mencicipi kenangan.
‘’Makasih
win, udah mau datang’’
‘’Kamu
juga harus dateng saat wisudaku nanti ya haha’’
Tanganku
dan dia bersalaman, tidak cukup lama. ‘’Dan
inilah puncak mencintai seseorang, saat kamu mampu merelakan dia menikah dengan
wanita lain yang lebih baik dari kamu’’. Wanita itu memiliki segalanya yang
tidak bisa aku berikan ‘’Cinta yang
nyata’’ karena selama ini aku sadar, aku hanya pecundang yang mencintainya
hanya sebatas narasi platonik sampah, tanpa mampu terucap. Wanita itu yang
pantas! Meski aku juga pantas, tapi bagi dia tidak.
Aku
duduk di sebelah salah satu temanku yang aku ajak ke pernikahannya, teman
priaku yang menemaniku selama di Jogja. Kita seperti dua orang kaku yang duduk
dengan begonya melihat dua pasang bahagia. Dia dengan lahap memakan kue coklat
yang bagiku tidak enak. Aku beberapakali gelesotan di kursi, ada sesuatu yang..
ah!
‘’He!’’
Teriaku. Beberapa orang melirik heran, temanku mengamini.
Dia
yang sedang duduk bersama wanitanya. Memandangku juga. Sedikit heran mungkin,
melihat wanita sinting teriak di kerumunan. Aku abaikan mereka, seolah mereka
mendoan yang mengambang di penggorengan.
‘’Dengan
segenap kemunafikan, aku bahagia melihat kamu menikah sekarang. Meski bukan aku
yang berdiri di sana’’ aku berkata-kata tanpa malu. Semua orang memandang
dengan geli, sebagian takjub. Temanku masih duduk santai, sudah terbiasa dengan
kesintinganku.
‘’Kamu
tahu ini mas?’’ aku mengambil gelas berisi es teh, lalu kumasukan gula. Dan
kuaduk dengan ganas. Kubiarkan gula itu larut. Dan kutumpahkan ke lantai.
‘’Ini
lukaku mas!’’ aku meletakan gelas kosong itu ke salah satu meja yang berada di
dekatku dan kutarik tangan temanku yang entah bagaimana dari tadi dia masih
asik makan kue cokelat tanpa henti.
Dan
pada akhirnya aku berhasil mempermalukan diri sendiri dipernikahan seseorang
yang.. entah sulit sekali meneruskan kalimat biadab itu. Dulu, aku mencintaimu
secara kekanak-kanakan tapi kali ini aku hanya bisa mencintaimu secara
ugal-ugalan. Aku tidak pernah mencintaimu secara pantas.
Aku
terduduk di pinggir jalan. Enggak nangis, meski ingin. Temenku berdiri di
sebelahku, masih melahap kue cokelatnya. Brengsek sekali orang ini!
Dia
tiba-tiba ada. Dibelakangku. Baru kali ini aku menjadi pihak yang dikejar.
Entah dalam scene ini aku harus bahagia atau menangis.
‘’Aku
mau mengembalikan ini’’ dia menyerahkan gulungan putih, yang aku tahu ada
lukisan wajahnya yang pernah aku kasih dulu, yang katanya di pajang di
kamarnya.
Aku
terdiam.
‘’Ini’’
dia menyodorkan gulungan keramat itu ke arahku. Dan aku menerimanya.
‘’Kamu
bisa miliki ini, enggak harus aku’’
Aku
tersenyum entah kenapa. Senyum ikhlas atau senyum palsu yang sewajarnya.
Entahlah.. senyum aja pokoknya. Gini nih senyumnya. Lihat ga?
Aku
membuka gulungan keramat itu dan menunjukan sebuah tulisan yang terukir kecil
di ujung kanan.
‘’S.H.M.I.LY’’
‘’Apa
artinya?’’
‘’Udah
gak perlu sekarang’’
Dari
jauh aku melihat wanitanya berlari ke arah kami. Aku deg-degan. Dan benar saja
saat mendekat, dia sedang membawa sebotol air mineral ukuran 1 liter. Aku gak
lagi haus waktu itu. Tapi.. sudah bisa ketebak kan apa yang bakal terjadi?
‘’Tadi
kamu lari-lari mas, jadi aku bawakan minum. Aku gak mau kamu haus’’
Taik!
Ini adegan serius kenapa dibecandain.
Dan
Byuuuuurrrrrrr! Ada air entah darimana membasahi mukaku. Bukan air dari botol
wanita itu. Apalagi air dari mataku… Hmm. Aku membuka mata dan melihat beberapa
teman sedang berdiri di kasurku seolah-olah sedang merubungi mayat.
‘’Happy
born day Jomblo formalin!’’
Bangke!
Sialan kalian semua. Aku melihat tanggal yang menempel di tembok kamar, tanggal
28 awal tahun. Saat itu pula aku sadar. Aku masih duduk di semester 4.
Baca juga: Magic Minute Chapter I ''Menit di Ujung Senja'' dan Magic Minute Chapter II ''Saat Cinta Tak Harus Diam''
Nantikan chapter 4 yak hihi. Bye!!!
TO BE CONTINUE