Senin, 11 Agustus 2014

MANUSKRIP KOPI




Ketika kopi menjelma menjadi alunan manuskrip dalam larik rindunya. Adakalanya rinai hujan akan mekar di penghujung jalan yang basah. Di tengah malam ini, aku meracik bait-bait syair yang sembarang tanpa arti. Aku ingin bebas seperti aroma kopi yang lihai memanifestasikan pekatnya aroma yang berpatri. 


Kopi menyimpan begitu banyak misteri, mengobrak-abrik sisi pahit atau manis dalam satu sentuhan amfiboli. Seperti kamu yang tak mau rugi menjelma bagai aksara untuk bersyair. Tentang nebula yang ada namamu terukir di dalamnya. Tentang spectrum yang mau berkonstelasi membentuk kesatuan langit Azura. Tentang Polaris yang mengisi kesaksian akan kelihaian estetika palet langit-langit malam. Tentang aku yang selalu menginginkan pelangi di antara kesucian bulan dan bintang di Antariksa. Tentang aku yang... ah tidak! Ini tentang kita yang lebih menyukai kopi panas. Tentang aku yang pernah menemanimu meracik robusta. Saat aku menemanimu berkhayal semalaman. 



Dear lelaki kopi, 



Malam ini tak seperti malam kala itu. Kisah mulai tak mengasyikan. Dini hari ini, aku masih terjaga, bukan karena cangkir kosong ini masih menyimpan fragmentasi memori. Hanya saja, aku masih sembarang mengartikan rasa ingin tahuku tentang kamu di sana yang masikah mengingat hujan kala itu. Tentang rinai yang membentang rintikan angan, bahwa kau lebih menyukai menari-nari di atas hujan dibandingkan meneduh seperti orang-orang? 


 
Malam ini dentingan jarum jam tak akan ke mana, seluruh lorong yang aku ucapkan mantra akan terfriksi oleh dentuman kuantum fisika. Menjejakan memori yang akan berbisik dalam satu ingatan tentang hujan kala itu. Aku tak ingin bersalaman dengan masa lalu. Aku hanya ingin merengkuhnya dan bersamamu yang khusus dikirimkan untukku. Menunjukan bahwa tak ada artifisialnya jika menyeduh kopi tanpa sebongkah buku. Menunjukanku bagaimana indahnya mendengarkan lagu instrumental di sela hujan. Menujukanku bahwa ada luka kala aku mengingat hujan kala itu yang setelahnya kita berkhayal tentang tufah farsi. Di dunia bukan kita. Tentang kita yang sudah tak menjadi kita, hanya ada aku dan kamu yang memang menjadi simbol komemorasi untuk saling berselebrasi. 




Aku tak lagi ingin menjejakan harum aksaramu yang berbisik lirih di telingaku. Biarkan semua paragraf menstumulasi dirinya bagai fluktuasi spectrum. Aku merasa kala itu sudah menjauh dan lambat laun mulai raib oleh keegoisan rasa. Biarkan ingatan diambil oleh psikosilosibin yang memang menarik di sela perbincangan sendiri di rintikan hujan malam. Biarkan abu tetap menjadi abu dan diam di sana. Biarkan buih kopi tetap menjadi buih yang tak akan memudar. Biarkan aku menikmati kopi sendiri. Meracik robusta dengan lihai yang lagi-lagi sendiri. Dan biarkan kepastian tak ubahnya menjadi ketidakpastian. Karena yang merasa pasti hanya manusia yang tak pernah menikmati kopi sendiri. 



Karena pada akhirnya kopi tetap menjadi kopi yang masih tetap nikmat walaupun menyimpan sejuta pahit di sana. Seluruh kenangan tak lagi melena seperti syair-syair platonik yang memabukkan. Akupun berfikir begitu, dalam ruangan yang hampa. Ada satu yang ingin aku hilangkan seluruhnya, dan tak lagi aku menuliskannya. Untuk lelaki kopi, ini terakhir. Apa kau....suka?