Ketika kopi menjelma menjadi alunan
manuskrip dalam larik rindunya. Adakalanya rinai hujan akan mekar di penghujung
jalan yang basah. Di tengah malam ini, aku meracik bait-bait syair yang sembarang
tanpa arti. Aku ingin bebas seperti aroma kopi yang lihai memanifestasikan
pekatnya aroma yang berpatri.
Kopi menyimpan begitu banyak misteri, mengobrak-abrik sisi pahit atau manis dalam satu sentuhan
amfiboli. Seperti kamu yang tak mau rugi menjelma bagai aksara untuk bersyair. Tentang nebula yang ada namamu terukir di dalamnya. Tentang spectrum yang mau
berkonstelasi membentuk kesatuan langit Azura. Tentang Polaris yang mengisi
kesaksian akan kelihaian estetika palet langit-langit malam. Tentang aku yang
selalu menginginkan pelangi di antara kesucian bulan dan bintang di Antariksa.
Tentang aku yang... ah tidak! Ini tentang kita yang lebih menyukai kopi panas. Tentang aku yang pernah menemanimu meracik robusta. Saat aku menemanimu
berkhayal semalaman.
Dear lelaki kopi,
Malam ini tak seperti malam kala itu. Kisah mulai tak mengasyikan. Dini hari ini, aku masih terjaga, bukan karena
cangkir kosong ini masih menyimpan fragmentasi memori. Hanya saja, aku masih
sembarang mengartikan rasa ingin tahuku tentang kamu di sana yang masikah
mengingat hujan kala itu. Tentang rinai yang membentang rintikan angan, bahwa
kau lebih menyukai menari-nari di atas hujan dibandingkan meneduh seperti
orang-orang?
Malam ini dentingan jarum jam tak akan
ke mana, seluruh lorong yang aku ucapkan mantra akan terfriksi oleh dentuman
kuantum fisika. Menjejakan memori yang akan berbisik dalam satu ingatan tentang
hujan kala itu. Aku tak ingin bersalaman dengan masa lalu. Aku hanya ingin
merengkuhnya dan bersamamu yang khusus dikirimkan untukku. Menunjukan
bahwa tak ada artifisialnya jika menyeduh kopi tanpa sebongkah buku. Menunjukanku bagaimana indahnya mendengarkan lagu instrumental di sela hujan.
Menujukanku bahwa ada luka kala aku mengingat hujan kala itu yang setelahnya
kita berkhayal tentang tufah farsi. Di dunia bukan kita. Tentang kita yang sudah
tak menjadi kita, hanya ada aku dan kamu yang memang menjadi simbol komemorasi
untuk saling berselebrasi.
Aku tak lagi ingin menjejakan harum
aksaramu yang berbisik lirih di telingaku. Biarkan semua paragraf menstumulasi
dirinya bagai fluktuasi spectrum. Aku merasa kala itu sudah menjauh dan lambat
laun mulai raib oleh keegoisan rasa. Biarkan ingatan diambil oleh psikosilosibin
yang memang menarik di sela perbincangan sendiri di rintikan hujan malam.
Biarkan abu tetap menjadi abu dan diam di sana. Biarkan buih kopi tetap menjadi
buih yang tak akan memudar. Biarkan aku menikmati kopi sendiri. Meracik robusta
dengan lihai yang lagi-lagi sendiri. Dan biarkan kepastian tak ubahnya menjadi
ketidakpastian. Karena yang merasa pasti hanya manusia yang tak pernah
menikmati kopi sendiri.
Karena pada akhirnya kopi tetap menjadi
kopi yang masih tetap nikmat walaupun menyimpan sejuta pahit di sana. Seluruh
kenangan tak lagi melena seperti syair-syair platonik yang memabukkan. Akupun
berfikir begitu, dalam ruangan yang hampa. Ada satu yang ingin aku hilangkan
seluruhnya, dan tak lagi aku menuliskannya. Untuk lelaki kopi, ini terakhir.
Apa kau....suka?
0 komentar:
Posting Komentar