Kamis, 29 Desember 2016

CURHAT BANGSAT


“Kenyataan memang identik dengan hal-hal bangsat”, ujarmu tenang, lalu melihat ke arah kosong, menghirup udara dengan berat. Ada yang berbeda darimu malam ini. Mungkin sedikit berdandan, ada olesan lipstik di bibir, dan kamu juga memakai parfum yang bisa aku rasakan dengan jarak 5 meter. Aku sedikit kaku, karena terbiasa melihatmu berbalut kaos, celana jins  dan rambut dikuncir kuda. 

“Aku akan membuat pengakuan malam ini” katamu, sedikit senyum. Seolah sebagai pria sekaligus sahabatmu, aku hanya dianggap cermin yang memantulkan bayangmu sendiri. Menjadi sesuatu yang selalu kamu butuhkan. Aku selalu memakluminya. Di pesan singkat, kamu hanya memintaku untuk menemani ngopi sambil mendengarkanmu bercerita.

Dua gelas kopassus yang menawarkan banyak kafein diantar ke meja. Aku langsung menyeruputnya, meski itu membakar ujung lidah, bangsat! Aku mencoba tenang di depannya. Mungkin saja, malam ini akan menjadi sesuatu yang luar biasa.

Kopi ini menjadi favorit kami berdua, aku sangat menyukainya karena kafein itu mencoba  menendangku secara dahsyat.  Namun bagimu, kopi di kedai ini menawarkan hal beda bagi setiap pengunjungnya, karena mau menukarkan secangkir kopi pahit bagi setiap cerita getir yang ditawarkan oleh pengunjung. Kamu bangga karena selalu ada cerita getir untuk ditukarkan.

“Detik ini, aku lahir kembali”

“Kamu bereinkarnasi?”

“Bisa dibilang begitu” kamu tersenyum lagi, menyeruput kopi itu yang sebenarnya tinggal ampas saja, “aku.. sudah mengakhiri semua” kamu mulai menarik napas secara berantakan. Memandangi sawah yang sebenarnya hanya menampakan siluet hitam. Kedai ini cukup bising, berada tepat di samping persawahan, tapi kamu menyukainya, “Karena sunyi akan melahirkan luka” Begitu katamu saat kedua kalinya kita ke tempat ini. 

Aku memandangi matanya, menunggu kalimat selanjutnya.

“Berakhir! Bertahun-tahun aku ingin tahu perasaannya. Dia menolakku dan aku cukup tahu diri untuk mundur. Yeey aku berhenti, cheers!” kamu sentuhkan gelasmu ke gelasku yang menimbulkan bunyi “ting” dan kamu menghabiskan semua ampas kopi yang tersisa ke tenggorokan. Aku rasa itu lebih menyesakkan dibanding kenyatan bahwa kamu harus berhenti berharap.

Ada perasaan lega, dan jantungku cukup berkontraksi dengan cepat saat kamu mengikrarkan kebebasan. Aku cukup diam dan kamu bertindak memaklumi dengan cara meremas tanganku. Saat brengsek itulah neurotransmitter mulai bekerja dengan maksimal. Aku merinding, memandangi matamu dengan sabar. Mungkin untuk sebongkah sentuhan fisik inilah, kamu mau berdandan untuk bertemu denganku. Dalam beberapa menit aku tahu, apa yang akan terjadi selanjutnya. Kamu menunduk, memandangi meja kosong, seolah di tempat itulah berkumpulnya kenanganmu bersamanya. Mimikmu mulai berkata-kata, gesturmu dipenuhi kegelisahan karenanya, dan air matamu jatuh hanya untuknya. Lambat laun meja kosong itu menjadi tempat paling meneduhkan untukmu memadu kenangan. Dan tanpa disadari kamu hidup bersama meja kosong itu. Kamu sendirian di tempat itu. 

Ceritamu selalu sama saja selama bertahun-tahun, tentang satu objek yang sejujurnya aku benci untuk mendengarnya. Kamu sudah buta, kamu dibuat luka, kamu dibuat bahagia, kadang kamu merindunya. Tapi seringnya kamu dibuat nelangsa. Tapi bodohnya kamu menikmati gejolak sialan itu. Aku mulai gila melihatnya.

Aku mengusap lenganku dengan tangan, membuat panas untuk tubuhku sendiri. Udara mulai dingin seiring dengan berjalannya detik menuju dini hari. Tiupan angin dari arah sawah mulai membuatku meriang. Aku lupa membawa jaket, karena saat menerima pesan darimu aku langsung menyalakan motor dan menuju tempatmu tanpa memikirkan kesehatanku yang harus menempuh perjalanan satu jam. Aku hanya ingin berada di dekatmu segera, saat kamu membutuhkanku sebagai teman ngopi dan kamu bercerita tentang lelaki bangsat itu.

“Mungkin saat ini, aku berada dalam titik nadir kehidupan. Aku merasa lelah sampai tulang. Aku sudah menyerah dengannya. Kamu tahu? Aku hanya butuh seseorang yang mau menempuh perjalanan satu jam hanya untuk menemaniku ngopi dan bercerita”

Kamu mengalihkan pandangan ke arah lain, menolak untuk memandangku. Aku tahu kamu sedang menahan untuk menangis. Kamu menelan ludah dengan berat. Entah sakit dalam bentuk apa yang sedang kamu konstruksikan. 

Dengan sedikit kehati-hatian tanganku memeluk tangannya, aku juga tidak bisa mengatur perasaan saat itu. Dan saat itulah malam tanpa akhir kita resmi dimulai. Dan kamu secara perlahan meneteskan air mata yang susah payah kamu bendung. Sedangkan aku susah payah untuk tidak melepas tanganmu sambil menepuk satu dua kali.

“Ini.. tangisan terakhir” ucapmu terbata, berusaha tampil biasa saja seperti saat menonton film yang tokoh utamanya harus berakhir mengenaskan. Kamu lalu tertawa. Getir. Aku tahu kamu ingin menangis sampai sesenggukan, tapi kamu hanya menarik ingus cepat yang menandakan kalau, “aku sudah tidak apa-apa”

“Orang yang sedang sibuk-sibuknya, saat hujan, perjalanan jauh, mau datang.. menemaniku” dengan berat kamu bicara.

Lalu aku mengingat saat itu. Hujan deras dan aku sedang sibuk dengan revisian bab 3. Tiupan air hujan mengetuk-ngetuk jendela kosku seperti alarm yang mengganggu aktifitas sakral tidurku di hari minggu. Dering pesan bunyi sekitar pukul 5 sore, aku langsung menutup laptopku, memanaskan motor. Ada seseorang yang menginginkanku berada di dekatnya. Kamu tahu aku pasti datang, sebagai angin yang akan menghembuskan segala hal yang kamu inginkan.

Aku menuju ke tempat yang ia alamatkan, sebuah perpus. Aku melepaskan jaketku yang basah kuyup. Meninggalkan kaos yang sedikit basah. Bodohnya aku tidak pakai mantel karena tidak mau rugi membuang waktu mencari benda konyol itu yang entah berada di mana. Aku hanya ingin segera berada di dekatnya. Itu saja.

Setelah tahu alasanmu mengajakku ke tempat ini, aku menggeleng heran. Tidak ada yang istimewa memang, dari menunjukan buku-buku kuno, dan aku hanya disuruh mencium baunya. Katamu itu nikmat luar biasa, dan aku harus merasakannya mumpung masih punya kesempatan. Brengsek! Kekonyolan macam apa ini. Tapi entah mengapa aku memang menikmatinya. Entah mengapa bisa demikian.

“Sekarang kamu mau gimana?” aku bertanya dengan pelan, seolah sudah terprogram dengan sendirinya.

Kamu tetap diam dengan pandangan kosong. Memandangi satu titik yang tidak bisa aku jangkau. Sampai kapanpun kamu akan tetap begitu. Kamu tidak sadar. Kamu selalu sendirian di ranah itu. 

“Menikmati suasana ini sampai pagi. Dan kita cukup berdiam-diaman saja”

Ada persinggahan di depanmu. Tapi kamu terus menanti. Kamu tetap menunggu. Tempat yang kosong.