Senin, 08 Februari 2016

MAGIC MINUTE Chapter IV ''Satu Kisah yang Tidak Harus Dipercaya''

CHAPTER IV
‘’Satu Kisah yang Tidak Harus Dipercaya’’

Betapa indahnya senja itu merunduk dengan lesu, seperti dirujami rindu. Ormuzd yang berperan sebagai dewa terang tak bisa berbuat apa-apa kecuali menyatakan kekalahannya kepada Ahriman. Gelap mulai menyelimuti langit-langit sore. Burung-burung mulai bergerombol berterbangan kembali ke sarang dengan campuran riuk angin-angin yang tenang. Aku menyeruput kopi, masih hangat. Sedang lelaki di sebelahku masih khusyuk memandang palet langit-langit Azura yang mulai pudar jingganya. Sungguh tampan ketika muka mulus itu terpampar sinar kekuningan, ingin aku.. sssst jangan diteruskan nanti ada anak kecil baca. Bahaya!
Inilah kita sekarang, bukan hanya kumpulan subjek yang beratasnakaman ‘’aku dan kamu ’’ tapi sudah menjadi satu kesatuan yang berbentuk ‘’kita’’. Aku tidak sungkan lagi untuk menuliskannya. Karena dalam aku, sudah ada kamu, begitu juga sebaliknya. Aku memegang tangannya yang hangat, tidak lebih hangat dari kopi yang baru saja aku seruput itu. Aku mencium tangan itu dengan lembut. Sedang senja sudah tidak menampakan apa-apa lagi. Hanya ada lilin dihadapan kita sebagai pemanis romansa. Dan aku bisa melakukan apa saja dengannya tanpa sungkan. Ah maaf, khusus kisah ini memang tidak diperuntukan dibaca oleh anak-anak. Eh tunggu.. sebentar! Kenapa di kisah ini aku dibuat menjadi pihak yang agresif? Ah tidak masalah, jika aku memang mau he..he.
Beginilah akhir dari kebahagianku. Pada akhirnnya Tuhan menyerah dengan rengekan doa-doaku. Entah dengan suka atau duka, Ia sudi mempersatukan dua orang sinting ini. Aku tidak ingin menjadi waras jika itu indikator untukku berpisah dengannya. Lagian apa itu waras juga masih diperdebatkan oleh Hegel dan kawan-kawannya.
Keluarga mungil yang bahagia, dengan rumah kecil yang sederhana. Taman luas dengan berbagai tanaman bunga. Ada perpustakaan dan ruang santai untukku menghabiskan berajam-jam di sana. Aku bilang padanya ‘’aku gak mau rumah besar, nanti capek bersih-bersihnya’’ dia cuma senyum meng-iyakan. Aku juga bilang ‘’aku mau ada danau di belakang rumah biar bisa duduk berdua, ngobrol santai sambil melihat senja’’ dia senyum lagi-lagi meng-iyakan. Kamu tahu betapa bahagianya aku memiliki dia. Pegang dadaku deh, pelan saja tapi. Denger nggak? Kayak ada suara air mendidih. Panas dan meletup-letup.
‘’Kasian Socrates, di saat anak-anak jaman sekarang lagi suka main game, anime dan sosmed, dia di jaman dulu justru sibuk murung sambil ngorek-ngorek tanah’’ ucapku santai sambil menyeruput kopi yang mulai dingin. Inilah keseharian kita, ketika selesai berutinitas. Membicarakan hal-hal tidak penting diantara hal paling tidak penting lainnya. Tujuannya adalah untuk menjaga hal-hal penting agar tetap eksis. Itu kutipannya Wisnu Nugroho di bio twitternya.
‘’Murung juga bagian dari proses berfikir. Aku berfikir maka aku ada. Mungkin dengan murung itulah, dia merasa menjadi ada’’
‘’Haha cogito ergo sum’’
‘’Mungkin Thomas Alva Edison juga demikian ketika menciptakan lampu. Dia berada dalam ranah kosong, kegelapan, yang menurut Plotinus gelap itu tidak ada yang ada hanya kekurangan cahaya’’ dia henti sejenak, menyeruput kopi sambil memandang genangan air danau yang bersinar akibat pantulan cahaya bulan. Aku mengamatinya.
‘’Lalu?’’
‘’Munculah lampu’’
‘’Udah?’’
‘’Hmm’’
‘’Sungguh pernyataan yang cerdas, inspiring!’’
Hahaha.. kita tertawa dengan kebegoan masing-masing.
‘’Emilia Clark pernah gak sih kesleo lehernya pas lagi ngulet?’’
BRUZZZZZZZz!!! Terdenger dentuman seperti roket berkekuatan massiv meledak di samping rumah kami. Aku terperanjak mencari asal-muasal suara itu. Dia masih duduk santai di kursinya nyomot gorengan lalu memasukan cabe ke mulutnya. Keadaan menegangkan dengan sentuhan dark ini seperti perpaduan antara Romantisme Jerman dengan Eksistensialisme Klasik. Beberapa makhluk aneh muncul, bentuknya seperti lobster yang bisa berdiri dan memiliki dua kaki. Mereka mengerubungi kami. Baginya kami ini hanyala sepotong risoles yang jatuh dilantai lalu dikerumi laler-laler, dan merekalah lalernya.
‘’Siapa kalian?’’ ucapku tegang, aku memegang lengan suamiku, menikmati ketegangan Fasisme Mussolini.
‘’Apa kalian ini Homarus?’’ ucap suamiku sok tahu.
‘’Kamu benar, kamu tahu namaku, kalau begitu aku tidak jadi menyerang kalian, aku akan kembali ke dimensiku. Selamat tinggal’’ ucap monster itu gembira.
‘’Heh jangan sontoloyo kamu, bukannya kalian itu hanyala makhluk Tuhan yang salah rupa!’’ ucapku sok tahu juga.
‘’Biadab!’’ ucap monster itu yang tahu kalau dia begitu.
Monster-monster yang berjumlah puluhan itu mulai membentuk lingkaran merubungi kami berdua yang berada di tengah-tengahnya. Mereka mengelurkan semburan api dari mulutnya. Tuhan mungkin sedang sibuk sehingga lupa bahwa Naga yang harusnya berperan seperti itu. Ah suka-suka Tuhan lah.
CRAAAAZZZZ! BRUZZZZZ! PRAAAAAKKK! PREKETEKKKK! KREK! KREK!
Suara leher suamiku yang diplintir ke kanan dan ke kiri, dia sudah berancang-ancang untuk melindungiku.
‘’Palu Thor!!!’’ tangan kanannya menengadah ke langit.
JDAAAARRR! Suara petir bergemuruh. Lalu sesuatu melucut seperti kilatan dengan kecepatan cahaya menuju ke tangan suamiku. Itu palunya Thor. Huahahahaha tawanya keras, bahagia dia.
‘’Kalian monster salah rupa tidak akan bisa dengan sontoloyo menginvasi bumi!’’
‘’Rasakan ini, mahluk berbau manusia!’’ wuzzzzz semburan api muncul dari mulutnya, namun dengan sigap suamiku menghalau dengan palu Thor.
JDARRRRRRR! Suara petir kedua datang lebih gemuruh, seseorang meluncur dari petir itu, ia bermuka garang dengan baju besinya.
‘’Siapa kamu?’’ ucapku deg-degan.
‘’Aku Thor, kembalikan paluku!’’

HAHAHA! Aku tertawa geli, menutup muka saking malunya membayangkan hal-hal ajaib seperti itu.
‘’Kamu autis apa gimana sih dari tadi ketawa-ketawa sendiri ga mau bagi”
‘’Cinta bisa saja autis, tapi itu yang buat kamu beda’’
‘’Monyong!’’
Aku dan temanku sedang duduk di pojok salah satu rumah makan langganan. Aku suka pojok, bukan berarti suka dipojokkan atau memojokkan sesuatu, suka aja, nggak ada alasan apapun.
Masih pertengahan November, dan lagu surya kembara mengiringi sore itu. Aku tidak lagi rindu dengan siapapun. Aku hanya ingin mendengar lagu itu di bulan hujan, dan kebetulan ada kata ‘merindu’ di akhir liriknya. Epik!
Seperti biasa, aku kesepian yang termanipulasi menjadi kurang kerjaan. Ada segelas susu serta beberapa biskuit untuk menemani rasa brengsek itu. Aku membuka sosmed dan menemukan satu pesan yang ketika aku buka, lagu surya kembara telah usai dengan kata ‘merindu-nya’ yang entah bagaimana aku sadar, apa yang aku rindukan telah hadir dalam bentuk virtual.
‘’Aku minggu kemarin ke Jogja. Niatnya pengen mampir, eh kamu di sms gak masuk’’
Itu yang tertulis di pesan, aku biasa-biasa aja awalnya ketika membaca. Namun, lagu The Smiths- Heaven knows I’m miserable now bersuara lain, seolah-olah menyadarkan kalau aku sedang dipecundangi takdir. Mungkin Tuhan belum menakdirkan aku dan dia untuk bertemu dalam realita fisik yang utuh, karena saat itu aku sedang jerawatan. Tapi itu bukan prioritas! Aku tidak ada masalah dengan tampilan mukaku saat itu. Aku sudah cantik dalam keadaan apapun, dalam indikatorku sendiri. Tapi Tuhan mana tahu itu? Aku tidak harus dipertemukan dengannya dalam keadaan cantik kan? Intinya, aku mengutuk takdir dan segala kebodohanku untuk tak acuh dengan ponsel sendiri yang lebih memilih mengaktifkan paket kuota.
‘’Hah ngapain? Kapan ke Jogja lagi?’’ aku seolah-olah terkejut, entah dia sadar atau tidak, aku memang terkejut dengan kebodohan diri sendiri.
Mungkin kesannya aku sedikit memohon untuk dia mendatangiku saat ke Jogja lagi. Dia memang akan datang untuk urusan pekerjaan, sekitar akhir minggu ini. Dan selama satu minggu itu, setiap mau mandi aku jadi suka ngacak-ngacak air di bak mandi. Itu hanya bentuk eskapis saat aku marah dengan diri sendiri.
Satu minggu berlalu. Dia tidak menghubungi. Persetan dengan gengsi! Untuk kali ini, aku merasa tidak masalah ketika harus menghubungimu lebih dulu untuk menanyakan ‘’kamu jadi datang?’’ Aku ingin menemuinya. Rasa haus ingin bertemu, entah mengapa lebih mengeringkan dari tanah yang menahun tak dirundungi hujan. Begitulah analogi yang dikatakan pujangga sok romantik itu.
Desiran karbondioksida semakin memenuhi ruang 2x4 yang aku tinggali selama beberapa waktu ini. Tak ada bunyi lain selain ‘’kruyuk..kruyuk’’ dari perutku yang aku abaikan. Sampai saat ini aku tidak tahu, mengapa seseorang bisa menyayangi suatu hal, melebihi rasa lapar dari perutnya sendiri. Mendadak aku lelah untuk menjelaskan jenis lapar secara fundamentalis. Yang aku tahu, kamu memang tidak datang.
Kedatanganmu bagiku hanyalah menstruasi yang tidak tepat waktu. Adakalanya hormon menjadi penghambat. Jika tidak ada sel sperma yang membuahi, dinding rahim itu akan runtuh. Dan kamu akan datang. Aku yakin itu.
Aku menyayangimu, melebihi dari siapapun. Meskipun aku menyayangimu, aku ingin sekali marah. Aku ingin meneriakan kekesalan ini dengan siapapun yang ingin mendengar. Kamu tahu? Aku ingin kamu ada. Meski kamu selalu ada. Selalu hadir dalam realita fisik yang tidak utuh. Aku ingin kamu benar-benar ada, merasakan hangat saat dua tangan saling berjabat. Aku ingin kamu ada di sini, menemaniku. Membicarakan rumus mekanika kuantum atau tentang bagaimana ikan paus melahirkan tanpa ia harus mengerang kesakitan. Aku ingin membicarakan apapun yang tidak penting denganmu. Berdebat tentang teori-teori bullshit yang tidak akan menghadirkan perdamaian dunia. Kendati begitu, aku akan merasa nyaman.
‘’Aku belum ke Jogja, kemungkinan akhir bulan ini’’
Mendapat pesan itu aku semakin mengutuk rasa brengsek ini. Akulah oportunis yang menginginkanmu datang. Entah bagaimana bisa, kata ‘’kemungkinan’’ bagiku hanyalah fana, ia hadir sebagai pelengkap kalimat yang menyatakan bahwa aku terlalu banyak berkhayal yang menginginkanmu ada.
Akhir bulan sudah lewat, bahkan akhir tahunpun datang. Aku sudah menunggumu selama itu dengan perasaan dinamis yang bergerak monoton. Aku ingin percaya dengan segala kemungkinanmu, sungguh aku ingin begitu. Tapi tidak dengan takdir. Ia berencana lain yang tidak sependapat denganku. Dialah yang apatis selama ini mengatur urusanku.
Perkara kehadiran, entah mengapa menjadi hal yang rumit. Kamu seperti rasa kebelet pipis yang jadwal hadirnya tidak bisa diprediksi. Bagimu mungkin ini sesuatu yang sepele. Karena masing-masing rasa kita berbeda. Kamu tidak pernah tahu, aku menunggumu kesakitan yang selalu percaya dengan kata ‘kemungkinanmu’ untuk hadir. Tapi kamu di sana mungkin saja sedang asik main Clash of Clans yang tidak pernah aku mengerti cara mainnya.
Aku membiarkan dua bulan terbuang dengan penungguan sia-sia. Aku meronta kesal dengan jalan hidupku sendiri. Kalau Tuhan baik, apa boleh aku meminjam catatan-Nya untuk mengintip sedikit tentang pertemuanku dengan makhluk sinting itu? Adakah tertulis di sana? Jika memang ada, aku pasti bahagia.
Siang itu mendung, sudah Januari. Tapi aku tidak menginginkan apapun dari bulan kelahiranku itu. Banyak suara, tapi kali ini aku tidak merasa terganggu. Aku membiarkannya masuk ke telinga dan suatu saat aku pasti akan mengingatnya. Bahwa aku sedang berada di candi, untuk meluapkan perasaan. Aku menjadikan keinginan bertemu dan segala kekesalan sebagai rahasia untukku nikmati sendiri. Akan aku simpan rapat-rapat di tempat ini. Aku berkeliling candi mencari celah lubang untukku bisa berbisik di sana.
Aku meletakkan kepalaku di puing. Merabanya dengan tanganku untuk meyakinkan bahwa ia akan baik-baik saja mendengar segala resah. Dan di lubang itulah aku bercerita segalanya. Tentang kisah dua orang sinting yang tidak harus dipercaya.
Aku hanya ingin bertemu denganmu. Entah mengapa memang harus.

TO BE CONTINUE~

 Baca cerpen sebelumnya, here--> S.H.M.I.L.Y

0 komentar:

Posting Komentar