Minggu, 12 Februari 2017

CERBUNG: TUHAN TIDAK BERMAIN DENGAN DADU

Ke mana Aku Setelah Mati?

Sisifus itu,

Apa dia… 

Bahagia?

       Aku biasa menulis sesuatu di selembar kertas lalu kukirim melalui tempat sampah. Isinya berupa caci maki, keluh-kesah seputar kehidupan yang aku tujukan kepada Tuhan. Kali ini ada sedikit berbeda di suratku itu, aku menulisnya dengan sedikit rapi dengan tuturan melankolis, mungkin dengan kelembutan, kali ini Tuhan mau menerimanya.

     Aku bertanya baik-baik, apa yang telah dipikirkan saat menciptakanku, atau aku ini hanya Sisifus yang Camus ceritakan itu? Betapa aku lelah sampai ke tulang menjadi “Aku”. Kau tahu, kan? Cerita tentang Sisifus yang licik itu, yang dihukum oleh Dewa untuk melakukan tugas sia-sia secara abadi, mendorong batu ke puncak yang pada akhirnya akan menggelinding lagi ke bawah. Begitukah esensi hidup? Untuk menjalani kesia-siaan, menjalani roda kehidupan yang berputar seenaknya. Ah logika manusia kadang memang sedikit cacat saat mengalami derita, tapi itu juga hasil konstruksimu kan, Tuhan? Bahwa manusia dirancang untuk menderita, untuk terluka? Ah maaf aku lancang, sudah menggunakan banyak kalimat tanya.

        Aku mengambil tas ranselku mengepak beberapa barang. Apa yang akan aku lakukan? Entahlah aku hanya ingin lari dari semua orang. Aku lelah dengan mereka. Aku malas. Hatiku malas. 


     Jalanan aspal begitu busuk, banyak lubang yang membuatku melompat saat melewatinya. Angin juga entah mengapa lagi kencang-kencangnya menyapa. Aku duduk di halte, menunggu bis tanpa pikiran apa-apa. Aku hanya ingin mengosongkan pikiran sejenak dari omong kosong dunia. Tidak menunggu lama bis berhenti di depanku, aku langsung masuk, tidak tahu itu akan menuju ke mana. Haha.. persetan!

         Aku duduk dengan tenang memandangi pepohonan lewat kaca buram. Masih pagi sehingga suasana belum terlalu pengap. Seorang bapak di sebelahku memandang, tersenyum dia, lalu akupun melakukan hal yang sama. Dia membawa beberapa kresek berisi sayuran dan kacang. Aku pandangi mukanya, lalu kulontarkan sapaan basa-basi untuk mencairkan suasana karena dia duduk di sebelahku.

           Lalu akupun bertanya, “Belanjaannya banyak sekali, Pak?”

       Dengan bermodal pertanyaan singkat, Bapak itupun bercerita panjang lebar. Ternyata ia penjual gado-gado dan lotek keliling di kampungnya. Ia habiskan hidupnya dari pagi hingga sore hanya untuk mengulek bumbu kacang.

“Saat malam aku tertidur, di mimpipun aku habiskan untuk ngulek bumbu kacang, hidupku hanya untuk itu, ya?”

         Lalu bapak itu tertawa, ada sedikit kebahagiaan di sana. Aku tidak mengerti mengapa dalam menjalankan kesia-siaannya itu, ia masih bisa tertawa? 

         Dari situ aku lega, ada sisifus lain di dunia ini selain aku. Namun, ada satu hal yang belum aku temukan, “kebahagiaan dalam menjalankan kesia-siaan itu”.

         Bis masih melaju, bapak itu sudah turun sejak 30 menit yang lalu. Ia berpesan satu hal kepadaku sebelum ia turun “hiduplah!”

Apa aku terlihat mati di matanya?


        Aku mulai lelah, kepalaku menunjukan gejala mabuk darat yang membuatku mual. Aku memegang pintu bis, teriak dengan parau, “Kiri pak!” Bis pun berhenti, aku sedikit loncat saat turun menghindari lubang genangan air. Aku segera lari menuju ke semak-semak dan muntah di sana, rasanya menyiksa.

       Sambil berjalan aku menegak satu botol air mineral untuk menetralkan tenggorokan yang asam. Aku tidak tahu tempat ini, tak satupun benda-benda di sini familiar di mataku. Aku terus berjalan melewati gang, ada beberapa rumah, ada beberapa orang berlalu lalang, beberapa tersenyum kepadaku saat aku lewat. Aku hanya mengangguk pelan, aku sedang untuk melakukan hal yang sama.

          Aku terus berjalan, udaranya masih terasa segara meski matahari tepat berada di atas kepala. Aku menghirup oksigen pelan, ada yang ingin aku teriakan, tapi hanya hembusan karbondioksida yang keluar. Di ujung jelan aku menemukan pohon yang hampir mati, aku keluarkan botol air mineral, kusiramkan ke daun-daunnya, kubisikan kata-kata “Hiduplah!”


          Jadi ini akhir dari perjalananku, terhampar luas. Untuk sesaat mataku mengalami orgasme secara misterius. Aku memandanginya, pantai itu, lama. Hingga mataku perih bergesekan dengan udara. Aku bertanya.. terus bertanya. Apakah pantai itu, ada ujungnya?

          Aku mengendorkan saraf kaki dengan duduk di bawah pohon, 100 meter di depanku, terhampar pantai yang ingin kujamah sejak pertama kali melihatnya. Aku merasakan angin laut. Mendengar jeritan ombak. Aku tahu dia juga sisifus sama sepertiku. Entah dosa apa yang telah dia lakukan hingga terlahir sebagai ombak. 

“Kamu bosan?” tanyaku kepada ombak, ia hanya menjawab dengan deruan yang menyejukan telinga.

“Tidakkah kamu lelah, setiap hari melakukan hal repetitif yang sia-sia?” dia tidak menjawab, justru  mengeluarkan deruan yang semakin kencang.

“Kenapa kamu terus mengeluarkan bunyi deruan, kenapa kamu tidak bisa berkata-kata? Aku sedang mengajakmu berbicara!”

         Aku berteriak, sangat kencang melebihi amukan ombak itu. Saat itulah semua luapan emosi tersalurkan seperti menyatu dengan energi pasang surut yang terus memanggilku. Aku menangis, entah berapa lama. Rasanya aneh menjadi manusia sepertiku, berjalan jauh tanpa tujuan, hanya untuk menangis.

“Kenapa kamu tidak punya lengan? Aku ingin dipeluk”

         Aku selalu bertanya, apa itu hidup, untuk apa aku hidup. Apakah selama ini aku memang hidup? Mereka bilang kaum seperti kami disebut makhluk hidup dan kamu (ombak) tidak hidup. Bisakah aku membuktikannya?
 
         Aku tidak tahu apa yang akan terjadi setelah ini, aku hanya ingin mengakhiri kesia-siaan. Kulangkahkan kaki, mendekatkan tubuhku menuju ombak, suaranya semakin menderu. Perlahan kurasakan air laut itu. Kini seluruh tubuhku sudah menyatu dengan ombak, dingin rasanya. Dadaku juga sesak sekali. Apa yang terjadi? Aku hanya ingin membuktikan mana yang disebut hidup. Saat aku bernapas atau justru saat berhenti bernapas.


         Saat aku membuka mata, ada yang berbeda. Aku merasa lebih ringan. Bahkan sekarang tiba-tiba aku sudah berada di depan rumahku. Ramai sekali, dan orang berbondong-bondong datang dengan ekspresi yang beragam. Aku melihat orang tuaku, adikku, dan teman-temanku di sana, mereka terlihat biasa saja. Aku tidak mengharapkan kesedihan dari mereka, aku tidak hilang, aku tidak pergi, aku hanya berubah menjadi semacam energi atau apa sih ini namanya. Aku sepertinya menjadi sesuatu yang tidak bisa diciptakan atau dimusnahkan, aku hanya akan menjadi bentuk lain. Tapi aku juga tidak tahu pasti, itu hanya persepsi sesatku, sampai saat ini aku masih menunggu malaikat atau apapun itu untuk datang menemuiku dan memberi penjelasan.

          Aku memandangi mereka, “orang-orang yang sudah melukaiku” aku sungguh tidak mengharapkan air mata mereka untukku, untuk kepergianku. Hei lihat! Aku di sana terbaring pucat? Tidakkah kalian sedih?

         Sudah malam, aku bergantian untuk mendatangi orang tuaku, lalu teman-temanku. Dan tak satupun dari mereka menangis karena kematianku. Namun aku terkejut, saat mereka akan tertidur, mereka mematikan lampu. Di saat gelap itu, aku melihat kepala mereka bersinar, dan anehnya ada gambarku, ada aku, sedang bergerak-gerak di kepala mereka.


          Aku menangis, entah mengapa setelah berubah bentuk, aku masih bisa menangis karena mereka. Lalu ada sesuatu yang menyilaukan mata mendekat ke arahku, mungkin itu sesuatu yang akan menjemputku untuk menjelaskan posisiku sebagai makhluk apa. Aku mengusap sisa air mata, dan menuju ke arah cahaya itu. Tidak ada suara apapaun, hanya gumpalan cahaya putih yang tak berbentuk. Aku memiringkan kepala, mengerutkan dahi, aku bingung. Apa yang akan terjadi?

Traaaakkkk!!!

Sebuah dadu keluar dari cahaya itu. Aku memungutnya. 

“Apa ini?”

Kraaazzzzzzz!!!

        Cahaya itu mengeluarkan suara memekikan, dan mengeluarkan energi yang membuatku terlempar cukup jauh. Aku langsung bangkit. Dan saat itu juga kesabaranku habis.

“Apa-apaan ini. Tuhan tidak bermain-main dengan dadu!”


“TO BE CONTINUE”




NB: Kisah selanjutnya akan menjelaskan tentang alasan manusia setelah mati diberi dadu. 


Terinspirasi dari komik Dice~

1 komentar: